Birokrasi Hambat Emisi Karbon
Oleh RENE L PATTIRADJAWANE
Salah satu kebijakan diplomasi yang luput di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah masalah lingkungan hidup, khususnya terkait jumlah emisi karbon yang dihasilkan Indonesia. Terlalu lama Indonesia terpana dengan ”emas hijau” yang menghasilkan devisa penting, tetapi membiarkan pembalakan hutan terjadi di mana-mana.
Tanpa strategi lingkungan hidup, khususnya pengurangan emisi karbon yang disepakati melalui perdagangan karbon dalam Protokol Kyoto, Indonesia pasti akan tertinggal dengan negara lain dan tidak menguntungkan perdagangan masa depan kita. Kabut asap yang menyelimuti sebagian wilayah Singapura dan Malaysia pekan lalu, terburuk selama 16 tahun terakhir ini, berpotensi menyudutkan ekonomi dan perdagangan Indonesia tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga secara global.
Sejumlah negara dunia sekarang ini mulai menjadikan perdagangan emisi karbon sebagai ekonomi baru, mengatur tata perdagangan internasional ke arah pengurangan dampak emisi gas rumah kaca. Pembalakan hutan Indonesia menyebabkan terjadinya peningkatan indeks standar polutan (PSI) mencapai 156, tertinggi setelah Singapura dikepung ”asap Indonesia” pada tahun 1997 yang mencapai PSI 226.
Selama kekuasaannya sejak tahun 2004, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Yudhoyono dalam eksperimen demokrasinya praktis tidak mampu menghasilkan kebijakan konkret ikut memperjuangkan diplomasi mengurangi emisi karbon sesuai Protokol Kyoto. Ada tiga faktor yang kita catat lemahnya Pemerintah Indonesia mengatasi ketertinggalannya ikut menghijaukan dunia melalui pengurangan polusi.
Pertama, kepentingan komersial menjadi terlalu dominan yang seenaknya melindas kekhawatiran banyak negara atas keamanan lingkungan hidup, khususnya terkait emisi karbon. Situasi ini berlangsung terlalu lama, menyebabkan perubahan iklim drastis yang sulit diprediksi tanpa peringatan dini.
Kedua, banyak departemen di Indonesia tidak peduli dengan pengurangan emisi gas karbon karena perilaku pemerintahnya yang lemah dan tidak memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi, serta dibumbui dengan masalah korupsi yang korosif. Akibatnya, perpanjangan moratorium atas penebangan kayu selama dua tahun tidak ada artinya kalau kesadaran lingkungan pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak ada.
Ketiga, pemerintahan otonomi daerah-daerah Indonesia menjadi terlalu kuat sehingga keputusan terkait pembalakan hutan ataupun kesadaran lingkungan terletak pada para gubernur ataupun bupati. Akibatnya, kesepakatan Pemerintah Norwegia untuk menyediakan dana sebesar satu miliar dollar AS untuk mengatasi perubahan cuaca di bawah kesepakatan PBB melalui program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) menjadi tidak berarti.
Banyak daerah tidak berhasil menyusun kesepakatan mengenai apa yang disebut sebagai dehutanisasi dan menanggulangi degradasi hutan untuk mengurangi jumlah emisi karbon. Padahal, dalam skema Masyarakat ASEAN 2015, persoalan ini juga akan ikut menentukan volume total perdagangan bebas Indonesia, termasuk perhitungan perdagangan karbon untuk mengurangi emisi polusi lingkungan hidup.
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/06/19/02254927/birokrasi..hambat.emisi.karbon