Tahun 2012 disepakati sebagai tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh (full implementation) dari REDD. Pembicaraan perubahan iklim dan REDD di forum global UNFCCC masih terus berlanjut, sementara focus dan energi seluruh pihak saat ini tercurah pada upaya persiapan pelaksanaannya. Di lain pihak masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang akan menerima dampak ataupun terlibat dalam implementasi REDD saat ini tetap dalam kehidupan mereka yang nampaknya masih menemui kendala dan masalah dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan hutan itu sendiri.
Sejauh mana masyarakat sipil memahami REDD dan bagaimana merespon serta memaknainya? Kami memberikan ruang kepada masyarakat sipil khususnya untuk memberikan opininya tentang Bagaimana Masyarakat Merespon dan Memaknai REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, dan bersifat individu. Simak opini mereka!!
Jago Bukit
Di Papua pada umumnya, khususnya Papua Selatan, masyarakat sipil apakah itu masyarakat adat atau masyarakat umum atau pekerja‐pekerja sipil tidak banyak tahu tentang REDD. Mereka jarang sekali mendengar REDD, mereka juga tidak tahu apa itu hubungan antara masyarakat adat, perubahan iklim dan skema REDD. Di level pemerintahan juga terjadi hal yang sama, sebagian besar dari mereka tidak tahu apa itu REDD ? Skema REDD hanya diresponi oleh segelintir aktifis lingkungan saja, namun aktifis LSM juga memiliki keterbatasan dalam memasyarakatkan skema REDD kepada masyarakat umum. Masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan belum tahu tentang skema REDD. Jika skema REDD benar-benar diimplementasikan secara konsisten dan bertanggung jawab ditambah lagi pemahaman masyarakat adat tentang skema REDD cukup memadai, maka diyakini bahwa masyarakat adat akan memilih skema Redd ketimbang menyerahkan tanah dan hutan kepada investor. Tantangan bagi kita pemerhati skema REDD.
Proyek Mifee Merauke yang akan membuka jutaan hektar hutan di kabupaten Merauke sama sekali tidak memperhitungkan dampak‐dampak pembukaan lahan secara besar‐besaran terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Ketika kami dari LSM menyampaikan masukan‐masukan tentang kerusakan lingkungan dan perubahan iklim pada moment pertemuan tentang Mifee, pihak Pemka Merauke sama sekali tidak menggubrisnya dan mereka lebih mengutamakan perolehan PAD Merauke dan kepentingan lainnya. Kelihatannya satu dua LSM saja di Merauke yang berkoar‐koar tentang dampak pembukaan hutan terhadap perubahan iklim dan skema REDD. Stakeholder yang lain tampaknya masa bodoh dengan perubahan iklim.
Yasanto bekerjasama dengan Samdhana untuk tahun 2011 akan melakukan sejumlah kegiatan yang terkait dengan masyarakat adat dan perubahan iklim, termasuk kegiatan mensosialisasikan perubahan iklim dan skema REDD kepada masyarakat umum. Mudah2an melalui kerjasama 1 tahun ini, semakin banyak masyarakat sipil di Selatan Papua tahu tentang perubahan iklim dan skema REDD. Kemudian yang juga menjadi tanda tanya adalah semakin hari semakin berkurang orang bicara tentang skema REDD (mungkin pendapat ini salah) dan semakin sedikit stakeholder yang concern terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim dan skema REDD yang cukup gencar digaungkan oleh banyak lembaga atau organisasi beberapa tahun lalu, belakangan ini cenderung menurun menurut kacamata kami – mungkin salah. Mudah-mudahan penilaian ini salah. Selamat berjuang menjadi pahlawan REDD.*
Tjipta Purwita
REDD merupakan isu terbaru dalam mitigasi perubahan iklim yang akan diterapkan secara penuh pada tahun 2012. Ini berarti merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kita, untuk mampu memanfaatkannya. Hutan Indonesia adalah penghasil “greenproducts” yang sangat besar. Karena itu pengurangan emisi dengan mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya lain dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, menjadi keharusan untuk diimplementasikan. Bila hal ini dapat dilakukan secara sinergis, maka sudah selayaknya kita mendapatkan insentif yang cukup memadai untuk terus melanjutkan pengelolaan hutan secara lestari serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Bagaimana peranan masyarakat yang hidup di pinggir-pinggir hutan? Jawabannya, mereka adalah stakeholders terdekat yang harus dilibatkan sejak dini dalam proses implementasi skema REDD. Mereka berperan sebagai penjaga hutan dari kemungkinan terjadinya kerusakan (deforestasi dan degradasi hutan). Karena itu mereka berhak mendapatkan informasi yang transparan mengenai regulasi, kelembagaan, serta mekanisme implementasi REDD yang terang, agar keterlibatannya betul‐betul didasari oleh kesadaran yang tinggi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Mereka berhak mendapatkan porsi kompensasi yang layak agar mereka memiliki capital yang mencukupi untuk hidup secara lebih sejahtera dan terbebas dari persoalan kemiskinan.
Masyarakat sipil (civilsociety), perlu mengawal agar proses implementasi REDD dapat berlangsung dalam tatakelola (governance) yang benar. Masyarakat tempatan (indegenuouspeople) sebagai komponen masyarakat sipil yang “terlemah”, sekali lagi harus diprakondisikan untuk siap melaksanakan implementasi REDD melalui pengelolaan hutan yang bersifat kolaboratif dan multipihak. Bahkan kini masyarakat lokal bersama dunia usaha kehutanan lain perlu membulatkan tekad untuk membangun kerjasama kemitraan yang mutualistis dalam wadah Hutan Rakyat (HR), Hutan Plasma, maupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada lahan yang terdegradasi, kurang produktif, serta memiliki legalitas tenurial yang pasti.*
Wawancara : ROSA GAZPER
Menurut anda, apakah REDD itu telah terkomunikasi kan dengan baik di tingkat masyarakat di Papua Barat?. Fakta yang harus diakui saat ini adalah, hampir sebagian besar masyarakat tidak pernah mendengar apa yang disebut dengan REDD, saya pikir orang‐orang berpendidikan yang tinggal di kotapun pasti masih banyak yang belum pernah mendengarnya. Saya beruntung karena mendapatkan informasi ini dari kawan‐kawan di LSM yang setahun lalu seringkali membicarakan masalah ini.
Apakah REDD ini bisa menjadi sebuah peluang yang bisa bermanfaat bagi masyarakat kita kedepan?. Sebagai masyarakat, yang pertama dan terpenting bagi kami adalah dampak apa yang kami dapat dari keadaan ini. REDD adalah sebuah hal yang masih awam bagi masyarakat di papua. Dari langkah awal saat ini di lakukan oleh pemerintah daerah saja sudah ada masalah, sebagai contoh seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa masyarakat belum pernah mendengar atau sengaja di beritahukan tentang program ini, justru kami mendapatkannya dari teman teman di luar pemerintah, artinya apa?! Dari masalah sosialisasipun pemerintah tidak mampu menjalankannya, apalagi dalam tahap pelaksanaannya nanti? Pasti kami lebih tidak tahu lagi.
Menurut anda, bagaimana sebaiknya langkah yang perlu dilakukan? Menurut saya, jika keadaannya demikian lebih baik kita tidak usah menerima program ini, karena saya kawatir kita tidak akan mendapatkan manfaatnya nanti. Untuk kepentingan mengurangi kecepatan perubahan iklim saya pikir kita perkuat dan pertegas saja kearifan yang memang sudah ada selama ini di masing‐masing masyarakat, karena dalam sejarahnyapun aturan ini sudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat, tanpa ada maksud untuk kepentingan sendiri. Kita dipapua memiliki banyak kearifan lokal yang bisa dikembangkan untuk pelestarian lingkungan. Tidak harus menggunakan konsep REDD. Namun jika aturan mainnya jelas, dalam arti masyarakat dapat memperoleh manfaatnya baik secara langsung maupun tidak maka REDD adalah sebuah konsep yang saya pikir memiliki fungsi ganda, yakni fungsi ekonomi kalau kompensasi itu diperoleh masyarakat pemilik hak ulayat dan fungsi lingkungan.
*VOYE adalah sebuah kelompok yang baru lahir tahun 2010, kehadiran pemudapemudi yang bersemangat ini, tidak terlepas dengan pola pendekatan, pembinaan dari beberapa temanteman NGO lokal di manokwari.
Michel Riwu
Ormelling (1955) memberi catatan sejarah bahwa pada pertengahan abad 18 (tahun 1769 M) Gubernur Hindia belanda yang berkedudukan di Batavia memerintahkan penduduk Pulau Timor menanam tanaman jagung (Zeamays) sebagai tanaman budidaya sebagai cara untuk mengatasi masalah kegagalan panen dan kelaparan yang kerap melanda daerah ini. Masyarakat menerimanya dan sejak saat itu tanaman jagung berkembang menjadi tanaman pokok bagi penduduk di Timor dan bahkan lalu menyebar ke berbagai pulau lain di NTT. Pada awal abad 20, Pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir ternak sapi Bali (Bos Javanicus syn. Bos sundaicus) sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan rakyat di Timor. Masyarakat juga menerimanya dan bahkan menjadi salah satu komoditas pertanian andalan dari Timor, bahkan Nusa Tenggara Timur. Jadi, menurut sejarahnya, kedua komoditas pokok di NTT tersebut adalah hasil introduksi dari luar sistem kemasyarakatan di Timor dan atau Nusa Tenggara Timur. Perlu pula dicatat bahwa sama sekali tidak ada catatan bahwa upaya introdusir tersebut didahului dengan adanya proses sosialisasi yang makan waktu lama. Mengapa masyarakat dapat menerima jenis‐jenis introdusiran tersebut dan lalu mengusahakannya? Selain karena kemungkinana ada sifat memaksa dari pemerintah kolonial alasan lain yang dapat diduga adalah bahwa karena dua komoditas tersebut memang menjawab kebutuhan masyarakat. Masyarakat mengalami kelaparan dan berpendapatan sangat rendah lalu ada solusi yang terang benderang. Maka jadilah apa yang dimaui.
Isu tentang pemanasan global telah cukup lama digaungkan di Nusa Tenggara Timur tetapi bahkan sampai dengan tahun 2010, yaitu ketika Forum DAS NTT melakukan sosialisasi tentang REDD, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh banyaknya rumah yang menggunakan bahan banguna yang terbuat dari kaca. Alih‐alih, banyak pula stakeholder dari kalangan yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih baik dari masayarakat desa memahami bahwa REDD sesuatu yang bertalian dengan warna merah. Jika memahami REDD saja masih merupakan suatu kesulitan besar maka mudah diduga apa yang terjadi ketika kepada berbagai stekholder yang ada di NTT disodori konsep adaptasi dan mitigasi yang terkait perubaan iklim global. Tidak semua stakeholder memberi respons seperti yang dikemukakan tadi. Beberapa di antara mereka memiliki paham tentang REDD akan tetapi mereka dibingungankan dengan persamaan dan perbedaan di antara beberapa varian terminologi REDD, REDD‐I dan REDD+. Akan tetapi dengan beberapa penjelasan tentang hal‐hal yang membingungkan tersebut maka timbul beberapa pertanyaan baru, antara lain, kapan REDD mulai bisa dilakukan karena menanam bukan hal asing bagi masyarakat, siapa yang akan mengelola REDD, apa hak dan kewajiban masyarakat sebagai pelaku REDD dan segudang pertanyaan lainnya yang terkait dengan cara bagaimana REDD akan diimplementasikan. Pada pokok pertanyaan ikutan ini maka beberapa kegamangan mulai terjadi dan lalu respons terhadap REDD umumnya bernada skeptik.
Bagaimana memahami dua kontras situasi yang diungkapkan di atas. Di masa lalu, introduksi jagung dan sapi diberi respons sangat positif oleh masyarakat di NTT tanpa perlu waktu yang lama. Pertama adalah adanya kebutuhan yang mendasar. Lalu kebutuhan tersebut direspsons secara tepat dan efektif oleh penguasa, siapapun mereka, ketika itu. Poerwanto (2004) menyatakan bahwa perubahan sosial selalu berasal dari 2 arah. Masyarakat akan berubah ketika mereka sadar akan keperluan untuk berubah (imanen) dan atau masyarakat akan berubah jika pihak luar mampu meyakinkan bahwa mereka perlu berubah dan lalu menjamin cara melakukan perubahan dimaksud (kontak). Itulah yang terjadi dalam sejarah keberhasilan introduksi jagung dan sapi ke Timor, NTT. Bagaimana dengan introduksi gagasan tentang REDD sekarang ini. Di masa milenum baru. Bahwa ancaman pemanasan global adalah suatu perkara yang perlu diresponi secara postif tak perlu lagi diragukan. Masyarakat memahami itu dan bahkan beberapa filosofi yang terkandung dalam gagasan REDD inheren dalam budaya tradisi mereka. Akan tetapi ketika terhadap beberapa pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, dan bagaimana gagasan tersebut akan diimplementasikan belum memiliki jawaban yang jelas maka tak pelak lagi idea bahwa tahun 2012 adalah tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh (full implementation) dari REDD sungguh suatu utopia. Masalahnya ada di mana? Menurut hemat penulis, akar masalahnya ada pada tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang belum berjalan efektif dan efisien. Selalu ada tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat tetapi adalah pemerintah yang diberi mandat untuk memerintah. Lalu, bagaimana perintahmu wahai pemerintah? *