Gambaran akan ancaman kehilangan tempat hidup bagi masyarakat dan anak cucunya yang saat ini berada di dalam kawasan hutan seringkali mengemuka dan menimbulkan keresahan. Pihak swasta yang mendapatkan ijin konsesi pengelolaan hutan juga merasa belum aman dalam investasi dan iklim usaha yang tidak kondusif. Sementara itu keamanan keberadaan kawasan hutan juga telah menjadi titik sentral dalam setiap pembahasan mengenai bencana lingkungan, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan. Tugas untuk mewujudkan dan mempertahankan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat menjadi tanggung jawab para pihak dan pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan.
Berbagai sumber menyatakan bahwa jaminan keamanan atas tenurial merupakan faktor penting yang diperlukan untuk mendorong pelestarian sumber daya alam. Berbagai elemen kepastian tenurial disampaikan oleh Lindsay (1998) antara lain adalah (1) kejelasan tentang substansi hak; (2) kepastian hukum atas hak; (3) jangka waktu berlakunya hak yang memungkinkan pemegang hak mendapat manfaat; (4) penegakan dan perlindungan hak terhadap pihak lain terutama negara; (5) hak bersifat eksklusif, pemegang hak dapat mengeluarkan dan mengontrol pihak luar yang memanfaatkan tanah dan sumberdaya; (6) pemegang hak diakui oleh hukum.
Dalam Warta Tenure edisi ketiga ini dibuka ruang untuk berbagi opini tentang “Tenure security”. Opini merupakan opini yang dikemukakan secara independen, individu,dan bukan atas nama institusi. Opini dapat berupa persepsi atau pemahaman terhadap topik yang disuguhkan, analisa singkat, usulan aksi penyelesaian masalah, atau dapat juga berupa untaian kalimat bermakna. Mari kita simak opini mereka!
Rakhmat Hidayat
“Aparat keamanan setingkat 1 SSK dikerahkan untuk menjaga dan mengamankan areal Perkebunan Sawit dari berbagai demonstrasi yang menuntut dikembalikannya lahan kepada masyarakat”.
Penggalan berita di media masa seperti di atas sangat sering kita jumpai. Namun sebaliknya sangat jarang kita membaca berita tentang upaya perlindungan sumberdaya masyarakat adat dan lokal dari serobotan berbagai kepentingan. Ada satu atau kelompok orang yang entah datang dari belahan bumi mana, menguasai ratusan ribu hektar dengan dukungan politik serta kebijakan atas sumber daya alam yang telah dimiliki dan dikelola turun temurun oleh satu atau kelompok masyarakat adat. Disisi lain masih terdapat ratusan bahkan jutaan orang yang tidak memiliki dengan aman satu petak tanah untuk tapak rumah. Kondisi seperti ini muncul dan terus berulang akibat perselingkungan norma antara penguasa dan pengusaha serta didewakannya pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan pertumbuhannya.
Di Jambi, banyak praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah diakui melalui Peraturan Desa, Surat Keputusan Bupati, Peraturan Bupati maupun Perda. Hutan Adat, hutan lindung desa, rimbo larangan, rimbo parabukalo, hutan desa, lubuk larangan serta lebak dan lebung larangan. Pola ini dari generasi ke generasi terus dikembangkan serta diadaptasikan dengan kondisi lokal dan memberikan berbagai manfaat ekologis, ekonomis, sosial maupun budaya. Namun jaminan keamanan terhadap kawasan tersebut masih dipertanyakan. Sebab kendati sudah memperoleh pengakuan, kebijakan turunan oleh Dinas Instansi Teknis masih belum menjadikan Surat keputusan Pengakuan tersebut sebagai rujukan. Akibatnya berbagai kebijakan – kebijakan baru yang berdampak negatif terus bermunculan seperti izin IPH/IPK, HTI transmigrasi, perkebunan sawit, pertambangan dan lainnya. Apabila terus dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya konsentrasi penguasaan yang mendorong terciptanya ketimpangan struktur agraria dan tentunya juga memberi akibat yang nyata dalam pola pengelolaan SDA. Di sisi lain, akses dan kontrol rakyat terhadap tanah dan SDA lainnya yang telah mereka manfaatkan sejak lama jadi semakin hilang. Praktek politik itu juga telah menimbulkan banyak persoalan sosial yang bermuara pada dehumanisasi dalam kehidupan banyak kelompok masyarakat serta meningkatnya kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan.
Memperhatikan kondisi seperti tersebut di atas, diperlukan kebijakan pemerintah untuk memberikan pengakuan jangka panjang terhadap kawasan kelola rakyat, pengetahuan dan teknologi lokal di dalam pengelolaan hutan dengan tidak mengeluarkan ijin investasi skala besar bagi pihak luar di kawasan kelola tersebut. Kebijakan tertulis dari pemerintah tersebut dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat pelaku pengelolaan hutan untuk melindungi kawasannya dari ancaman pihak luar serta memberikan jaminan keamanan dan kepastian pengelolaan secara berkelanjutan.
Budi Riyanto
Membahas masalah jaminan keamanan tenurial pendekatannya tidak terlepas dengan pandangan sistemik. Pandangan sistemik memandang setiap komponen dalam system dalam hal ini hutan harus ditemparkan sebagai factor yang mempengaruhi keseimbangan. Factor yang penting di dalam keamanan tenurial adalah masyarakat sekitar hutan. Keberadaan masyarakat sekitar hutan harus dipandang sebagai satu kesatuan system hutan. Hal itu berarti keberadaannya harus dipertahankan dan diberdayakan agar mampu berpartisipasi dalam pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam agar lestari dan masyarakatnya sejahtera. Langkah-langkah konkrit untuk adanya jaminan keamanan yang perlu diambil adalah: pertama perlu segera penetapan kebijakan untuk pengakuan masyarakat sekitar hutan pada tataran institusional level agar diperoleh kepastian hukum yaitu dengan segera mensahkan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat beserta peraturan pelaksanaannya, penyusunan peraturan Menteri Kehutanan tentang Pemberdayaan Masyarakat di kawasan hutan sehingga ada kepastian hak dan kewajiban bagi masyarakat; kedua perlunya pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya; ketiga penegakan hukum yang tegas dalam perlindungan hutan; keempat percepat penetapan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagai tindak lanjuta kebijakan pada policy level yang mendukung selain butir pertama.
Atas dasar hal tersebut di atas diharapkan ada perubahan pandangan dan sikap dari masyarakat yaitu pertama rumongso handarbeni artinya masyarakat merasa memiliki hutan sebagai tempat hidup, kedua melu mahayubagyo artinya masyarakat turut mengelola dan memanfaatkan hutan dengan penuh tanggung jawab dan ketiga melu hangrungkepi artinya masyarakat dengan penuh kesadaran turut melindungi hutan dari setiap ancaman yang datang dari luar maupun di dalam kawasan hutan itu sendiri. Ketiga prinsip tersebut terangkai dalam satu semangat yaitu gotong royong. Pengelolaan hutan secara gotong royong inilah yang harus menjadi pilar dasar pembanguna hutan lestari.
Endang Sri Sukarsih
Di saat eksploitasi hutan dilakukan oleh sekelompok pengusaha yang mendapat ijin dari Pemerintah, ada masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar hutan hanya mampu menjadi penonton. Kalau pun ada yang dipekerjakan itu hanya sebatas buruh. Bahkan ironisnya lagi wilayah kelola yang menjadi tempat hidupnya tidak jarang menjadi areal konsesi pengusahaan hutan. Pada awalnya meskipun hanya sebatas memperoleh pengakuan raja raja atau hukum adat yang berlaku, mereka hidup tenteram dan aman. Namun, setelah sistem dan kebijakan penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah tahun 1982 lalu, merekamulai tergusur dari lahannya yang sudah dikelolanya berpuluh tahun silam. Kehidupan masyarakat dalam hutan pun mulai terusik. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh legalitas hukum namun upaya itu selalu sia-sia dan ujungnya gagal. Sebabnya, pihak-pihak yang berkompeten yang dimohon untuk melegalkan lahannya, tidak punya kepedulian bahkan menudingnya sebagai perusak, perambah dan pencuri.
Haruskah mereka bertahan dalam ketidakberdayaan atau meninggalkan tempat hidupnya dalam kebodohan dan kemiskinan? Padahal mereka hanya berharap bisa hidup dengan rasa aman dan tentram tanpa diusik oleh segala macam aturan hukum yang tidak difahaminya. Masalah itu tidak bisa dibiarkan terus berlangsung perlu ada upaya berupa rencana aksi untuk menanganinya antara lain melalui Pembentukan Komunitas Fasilitator Para Pihak yang punya niat tulus dan ikhlas serta mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan. Komunitas ini diharapkan mampu membangun kesepahaman dan kesepakatan, rasa saling percaya dan menghargai, melakukan penguatan ditingkat basis dalam mengadvokasi sistem dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat secara sustainable dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi hutan, melakulan kajian terhadap nilai-nilai sejarah, social budaya masyarakat yang masih tersisahaminya. Masalah itu tidak bisa dibiarkan terus berlangsung perlu ada upaya berupa rencana aksi untuk menangani – nya antara lain melalui Pembentukan Komunitas Fasilitator Para Pihak yang punya niat tulus dan ikhlas serta mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan. Komunitas ini diharapkan mampu membangun kesepahaman dan kesepakatan, rasa saling percaya dan menghargai, melakukan penguatan ditingkat basis dalam mengadvokasi sistem dan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat secara sustainable dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi hutan, melakulan kajian terhadap nilai-nilai sejarah, sosial budaya masyarakat yang masih tersisa.
Rahardjo Benyamin
Jaminan keamanan bagi pemangku hak pengusahaan hutan dirasakan masih kurang oleh para pemegang IUPHHK (dulu HPH). Para pengusaha masih merasakan iklim usaha yang kurang kondusif. Konflik yang menyangkut masalah penguasaan lahan (land tenure), terutama antara pengusaha dengan masyarakat masih terus terjadi. Hal ini disebabkan karena belum adanya sistem dan perangkat peraturan yang legitimate dan dipatuhi oleh berbagai pihak sehingga dapat diperoleh win-win solution atas setiap konflik yang terjadi. Di samping itu sering kali Pemerintah di daerah semisal Pemerintah Kabupaten, Dinas Kehutanan seperti berlepas tangan jika terjadi konflik, sementara penyelesaiannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak perusahaan. Padahal, harus diakui bahwa perusahaan pemegang IUPHHK biasanya memang belum menyiapkan sistem, organisasi, dan sumberdaya manusia yang kuat dan memiliki kompetensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi, karena memang hal tersebut tidak mudah. Sangat jarang perusahaan pemegang IUPHHK memiliki SDM berkualifikasi anthropologi yang handal, yang dapat mencari solusi terbaik atas setiap konflik yang terjadi.
Harapan ke depan, perlu adanya institusi independen yang legitimate dan memiliki kompetensi serta kewenangan untuk dapat berperan dalam menyelesaikan berbagai konflik land tenure yang terjadi. Mudah-mudahan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) akan menjadi salah satu pihak yang dapat memberikan kontribusi secara signifikan dalam penyelesaian masalah land tenure yang terjadi di Indonesia.
Marcus Colchester
Two new reports expose the serious injustices caused to indigenous peoples, local communities and smallholders by the way oil palm plantations are being developed in Indonesia. The two studies show how the lives of tens of millions of Indonesians affected by the oil palm sector are blighted by laws, policies and practices which systematically limit their rights and prioritise the interests of estate companies, often backed by foreign investors. The first study (Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia Implications for Local Communities and Indigenous Peoples by Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surambo and Herbert Pane [2006] Forest Peoples Programme, Sawit Watch, HuMA and ICRAF, Bogor ), based on a detailed legal analysis and field surveys of 6 oil palm operations in 3 provinces, was carried out by Sawit Watch, Forest Peoples Programme (FPP), HuMA and the World Agroforestry Centre. According to the report, Indonesia has already established over 6 million hectares of oil palm plantations, mainly in cleared forests, and regional plans provide for a further 20 million ha. Most of this area is the customary land of indigenous peoples and local communities. The study shows how Indonesian laws and land acquisition procedures provide these peoples with very weak protections. In the name of the ‘national interest’, communities are being forced to give up their lands against their will and without getting adequate compensation. As a result, conflicts between oil palm plantations and local communities are widespread and growing.
The second study (Ghosts on our own land: oil palm smallholders in Indonesia and the Roundtable on Sustainable Palm Oil by Forest Peoples Programme and Sawit Watch, Bogor [2006]), again by Sawit Watch and the FPP and based on workshops and interviews with smallholders from several estates in East and West Kalimantan, was undertaken to assess how the new standard of the Roundtable on Sustainable Palm Oil fits smallholder realities in Indonesia. The study shows how local farmers, forced to relinquish their lands to plantations, only get back small proportions of their lands as oil palm smallholdings and then find themselves encumbered by substantial debts, which they take up to 20 years to pay off. Farmers complain of low prices, unclear financial arrangements, poor infrastructure, inadequate training and serious social problems on the estates. Their situation is clearly at odds with the RSPO standard. There are about 4 million smallholders and their families on these estates in Indonesia, it is estimated [Ghosts on our own land: oil palm small-holders in Indonesia and the Roundtable on Sustainable Palm Oil by Forest Peoples Programme and Sawit Watch, Bogor (2006)]. Unable to comply with international standards which require respect for customary rights, Indonesia is likely to lose market share to oil palm producers from other countries unless the laws, policies and practices which frame the development of the oil palm sector are revised.
I Nyoman Nurjaya
Dari satu sisi, keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan diakui oleh pemerintah sebagai fakta historis dan empiris dari kondisi hutan dan kehutanan di Indonesia. Tetapi, dari sisi yang lain, pemerintah seringkali mempersepsikan keberadaan mereka dalam kawasan hutan sebagai sumber masalah dan penghambat pembangunan di bidang kehutanan, terutama ketika pemerintah mendelegasikan kewenangannya dalam bentuk konsesi/ijin pengusahaan hutan kepada BUMN/BUMS untuk tujuan-tujuan yang bersifat komersial dan eksploitatif dengan dalih untuk peningkatan pendapatan dan devisa Negara (state revenue).
Dari optik antropologi hukum, dapat ditengarai bahwa dengan dalih demi pembangunan (in the name of development) pemerintah cenderung mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam masyarakat, sehingga hukum Negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan (state law) diberlakukan sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di negeri ini (legal centralism), dengan menggusur dan bahkan mematisurikan fakta keberadaan hukum masyarakat adat (adat law) khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Implikasi yuridis-antropologis dari persepsi dan kinerja pemerintah dalam pengelolaan hutan seperti diuraikan di atas adalah munculnya konflik-konflik (norma dan kepentingan) yang berkepanjangan antara pemerintah atau BUMN/BUMS pemegang konsesi pengusahaan hutan dengan komunitas-komunitas masyarakat (adat) yang telah bertahun-tahun dan bergenerasi hidup dalam kawasan hutan.
Oleh karena itu, kebijakan yang mencerminkan kehendak pemerintah untuk menggusur dan mengeluarkan masyarakat yang telah bertahun-tahun hidup dalam kawasan hutan dengan dalih implementasi-penegakan hukum Negara (peraturan perundang-undangan) secara substansial selain merupakan kebijakan yang tidak manusiawi juga tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Selain karena ongkos sosial (social cost) yang harus dibayar pemerintah akan sangat mahal, karena terjadi viktimisasi (penimbulan korban-korban kebijakan pemerintah), juga tidak ada jaminan kondisi hutan akan menjadi lebih baik dan lestari tanpa adanya pelibatan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Dengan demikian, komunitas masyarakat harus dipandang sebagai asset dan partner pemerintah yang sejati (genuine partnership) dalam pengelolaan hutan, dan collaborative forest management antara rakyat dengan pemerintah menjadi pilihan model yang terbaik untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutan. Untuk ini, masyarakat di dan sekitar hutan perlu diberikan legal security mengenai hak-hak mereka atas sumber daya hutan, karena hutan bagi mereka adalah sumber kehidupan yang tidak saja mempunyai nilai ekonomis tetapi juga mempunyai makna dan nilai sosio-religius. Selain itu, fakta kehidupan hukum yang bercorak majemuk (legal pluralism) dalam masyarakat menuntut adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak komunal masyarakat adat (adat communal rights) atas sumber daya hutan sebagai entitas hukum (legal entity) tersendiri yang sejajar kedudukan yuridisnya dan setara daya berlakunya dengan hak Negara maupun hak individual dalam hukum Negara (state law). Ini berarti, pengaturan mengenai hutan berdasarkan statusnya seperti dinyatakan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan harus dilengkapi menjadi selain hutan Negara dan hutan hak, juga hutan adat/komunal.