WARTA TENURE Edisi 3
Kepastian Tenurial dan Reforma Agraria Di Kawasan Hutan
Belakangan ini berbagai media massa lokal dan nasional diwarnai oleh berita tentang gebrakan Reforma Agraria yang digulirkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, program reforma agraria yang mencakup pembagian lahan sekitar 8,15 juta hektar atau sekitar 114 kali luas wilayah negara Singapura ini sudah mendesak dilaksanakan untuk memotong laju kemiskinan yang makin mengkhawatirkan. “Tanah ini diberikan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan”. Begitu penegasan Menteri Pertanian Anton Apriyantono yang dirilis oleh Tempo Interaktif (Jakarta, 28 September 2006).
Departemen Kehutanan kemudian juga mengeluarkan Siaran Pers pada tanggal 3 Oktober 2006. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan Departemen Kehutanan memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik. Departemen Kehutanan akan mengefektifkan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani sekitar 1,8 juta hektar, dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam bentuk kerjasama pengelolaan. Di luar pulau Jawa, Departemen Kehutanan akan mengalokasikan tidak kurang dari 9 juta hektar lahan hutan yang tidak produktif untuk ditanami dan dikelola sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI). Dari usaha tersebut, 60% diantaranya (5,4 juta ha) dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang akan dikelola bersama masyarakat.
Bagaimana dengan kepastian tenurial (tenure security) terkait dengan program reforma agraria? Untuk itulah dewan redaksi Warta Tenure pada edisi ketiga ini merasa penting menyajikan tulisan Myrna Safitri tentang kepastian hukum atas penguasaan kawasan hutan. Mengingat lebih dari 60% luas daratan di negara yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini dikategorikan sebagai kawasan hutan. Sebenarnya tulisan ini telah diangkat sebagai artikel dalam Majalah Forum Keadilan Edisi 25 Tahun XVI/8-15 Okt 2006. Namun pertimbangan kami adalah tidak banyak orang yang beruntung mendapatkan artikel tersebut.
Kami juga menyajikan tulisan yang membedah lebih mendalam tentang kebijakan reforma agraria pada kawasan hutan (oleh Iman Santoso, Koordinator Working Group Tenure) sebagai bahan pengkayaan wacana sekaligus praktek reforma agraria dan kepastian tenurial di kawasan hutan. Praktek-praktek di lapangan yang relevan dengan topik ini antara lain inisiatif dan praktek yang telah dikembangkan oleh para pihak di pulau Sumba, yaitu pendekatan partisipatif dalam membangun kesepakatan para pihak di Taman Nasional Manupeu-Tanandaru dan inisiatif tata pengelolaan bersama para pihak di Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti.
Dibalik hingar bingar berita gembira reforma agraria ini juga masih kita temui kasus-kasus konflik tenurial di kawasan hutan yang penanganannya masih dianggap kontra reforma agraria, seperti kasus penangkapan warga komunitas adat Sando Batu di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Banyak kalangan berharap agar program reforma agraria ini tidak akan menambah rumitnya kasus-kasus konflik tenurial yang selama ini belum ditangani secara baik.
Selamat menikmati sajian kami, semoga bermanfaat!
Salam,
Redaksi.