WG-Tenure memberikan dukungan kepada Tim Peduli Pengekahan untuk mengadakan diskusi membahas kasus tenurial dan pengusiran masyarakat adat marga Belimbing di enclave Pengekahan pada tanggal 25 September 2008 bertempat di Hotel Arinas Bandar Lampung. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang telah disusun oleh Tim Peduli Pengekahan untuk memperjuangkan hak masyarakat adat marga belimbing di enclave pengekahan. Diskusi bertujuan untuk membangun kepedulian masyarakat luas terhadap perlindungan keberadaan masyarakat adat Marga Belimbing di enclave Pengekahan Pekon Way Haru Kec. Bengkunat Belimbing Kab. Lampung Barat, terutama dari pihak akademisi, NGO’s dan aktifits pers. Diskusi dihadiri oleh sekitar 20 peserta dari masyarakat, NGO, dan pers.
Diskusi dimulai dengan testimony masyarakat yang memaparkan sejarah keberadaan masyarakat di enclave pengekahan dan juga kondisi dan situasi yang dirasakan masyarakat saat ini. Kemudian Ir. Iman Santoso MSc selaku koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure mengulas dan memberikan tanggapan atas testimony masyarakat. Diskusi dipandu oleh Ichwanto Buyung salah satu anggota tim pengekahan yang juga anggota WG-Tenure.
Menurut kesaksian masyarakat Enclave Pengekahan telah ditetapkan sejak jaman Pemerintah Belanda th 1934 jauh sebelum TNBBS ditetapkan, dengan batas wilayah dari Way Belimbing sampai dengan Way Haru. Hal ini ditunjukkan dengan bukti peta dan semacam surat kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan masyarakat dan pemerintah Belanda saat itu. Batas wilayah ini kemudian menjadi bermasalah ketika Penunjukan ulang kawasan hutan Lampung dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada th 1991 menyatakan bahwa batas enclave adalah antara way belimbing dan way pengekahan, sehingga masyarakat merasa terjadi pengurangan areal masyarakat karena ditetapkan masuk dalam kawasan TNBBS. Secara de facto wilayah yang belum dicapai kesepakatan ini merupakan pemukiman dan kebun masyarakat.
Permasalahan lain yang dirasakan masyarakat saat ini adalah keresahan dan ketidaknyamanan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Kondisi ini terkait dengan dilepas-liarkannya 2 ekor harimau sumatera langka yaitu agam dan pangeran yang secara langsung telah mengusik kehidupan masyarakat di enclave pengekahan. Seperti dilansir beberapa media dan juga kesaksian langsung masyarakat bahwa harimau tersebut dalam beberapa hari pasca diliarkan telah memangsa puluhan ternak warga dan kehadirannya di seputar pemukiman tentu saja meresahkan masyarakat. Diungkapkan bahwa sebagian besar siswa SD di wilayah tersebut tidak berani lagi bersekolah karena harimau tersebut berkeliaran tanpa ada yang bisa menjamin keselamatan mereka.
Masyarakat juga merasa saat ini terjadi pengurangan akses pemanfaatan sumberdaya air dalam hal ini sungai, laut/pantai, dan juga darmaga. Diungkapkan bahwa selama ini masyarakat bisa memanfaatkan sumberdaya laut seperti misalnya menangkap ikan, udang, bahkan lobster yang nampaknya menjadi salah satu sumber penghidupan mereka. Namun saat ini terjadi pelarangan atau adanya aturan hanya boleh memanfaatkan sumberdaya laut selepas 2 mil dari pantai (mengingat sepanjang 2 mil dari pantai adalah cagar alam laut). Keberadaan cagar alam laut ini sebenarnya sudah ada sejak ditetapkan tahun 2002 namun baru akhir-akhir ini pelarangan dilakukan (oleh pihak PT Adhiniaga Kreasi Nusa yang tergabung dalam Artha Graha Group milik pengusaha Tommy Winata yang memiliki konsesi Tambling Wildlife Nature Conservation yang arealny berada di pinggir taman nasional.
Pengurangan akses sumberdaya air juga dirasakan oleh masyarakat atas pemanfaatan sarana dermaga umum yang dibangun pada jaman pemerintah kolonial Belanda, padahal dermaga ini merupakan pintu utama ekonomi masyarakat marga belimbimg di pengekahan, sebagai sarana kapal-kapal pengangkut hasil bumi (kopi, lada, dan kakao) menuju Kotaagung atau Tanjungkarang. Adanya tanda larangan memanfaatkan sungai karena adanya buaya yang diliarkan oleh pihak perusahaan juga dirasakan masyarakat sebagai pengurangan akses masyarakat atas sumberdaya air yang selama ini telah mereka manfaatkan.
Masalah lain yang dihadapi masyarakat adalah rencana relokasi warga marga belimbing di enclave Pengekahan yang akan dipindahkan ke wilayah lain yang rencananya ke wilayah Sumberejo yang sebagian wilayahnya masuk dalam kawasan TNBBS dan sebagian kawasan hutan produksi terbatas. Menyikapi rencana ini masyarakat nampaknya dengan tegas akan tetap mempertahankan wilayah mereka di enclave Pengekahan. Keterikatan emosional masyarakat dengan leluhurnya nampak masih sangat kental. Disampaikan di wilayah enclave tersebut terdapat jejak-jejak leluhur mereka seperti makam leluhur yang dikeramatkan.
Menanggapi testimony dari masyarakat, selaku Koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure, Ir. Iman Santoso, MSc menyampaikan beberapa pandangan, antara lain adalah:
- Terkait permasalahan belum sepakatnya batas enclave, masyarakat sebaiknya bertemu dan mendiskusikan batas dengan tim panitia tata batas yang diketuai oleh Bupati. Tim Panitia Tata Batas yang seharusnya bertanggungjawab terhadap terjadinya perbedaan batas wilayah enclave ini. Dalam kesepakatan antara warga marga belimbing dengan Pemerintah Belanda saat itu terdapat salah satu butir yang dirasakan multi tafsir. Perbedaan persepsi inilah yang seharusnya dibicarakan antara masyarakat dengan Tim Tata Batas.
- Disampaikan bahwa keresahan yang dirasakan oleh masyarakat di enclave Pengekahan sangat dapat dimaklumi. Papan-papan larangan yang dipasang dirasakan ikut memicu keresahan yang dirasakan masyarakat. Menyikapi hal tersebut disarankan agar masyarakat dapat membuat catatan resmi sehingga dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Saat ini keresahan warga hanya bisa ditangkap dari media-media yang memberitakan kasus pengekahan. Secara singkat dikisahkan (berdasarkan informasi dari PHKA, Dephut) bahwa harimau langka ini adalah 2 dari 5 ekor harimau yang didatangkan dari Aceh. Harimau ditangkap setelah terjadinya stunami pada tahun 2004 yang lalu dan kemudian dirawat oleh BKSDA Aceh. Namun karena keterbatasan dana untuk merawat dan juga daya dukung habitat asli harimau ini di Aceh dirasakan sudah tidak layak, maka dengan menggandeng mitra PT Adhiniaga Kreasi Nusa milik Pengusaha Tommy Winata yang memiliki konsesi wisata alam di kawasan TNBBS, maka harimau-harimau ini dilepaskan di kawasan TNBBS. Namun demikian menurut beberapa pihak bahwa kenyataan di Aceh tidak demikian adanya. Beberapa NGO Internasional dengan dana yang sangat mencukupi bergerak di Aceh dan luasan TN Gunung Leuser di Aceh jelas lebih luas dibandingkan dengan di TNBBS.
- Terkait dengan keresahan warga menyikapi rencana relokasi, disampaikan bahwa sangat dapat dimengerti keinginan warga Pengekahan untuk bertahan di wilayah enclave mereka, mengingat sejarah panjang seperti yang disampaikan dan ikatan emosional masyarakat atas wilayahnya. Namun disampaikan pula bahwa relokasi bisa dipikirkan sebagai salah satu jalan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah pendidikan bagi anak-anak mungkin lebih mudah untuk diakses. Namun demikian yang harus diperhatikan adalah tempat untuk relokasi haruslah memiliki status hukum yang jelas jangan sampai malah ditempatkan di tempat yang belum jelas (security of tenure harus diperhatikan). Karena sesungguhnya secara hukum lokasi yang telah di-enlave telah memiliki jaminan kepastian tenurial.
- Masalah enclave seharusnya telah memiliki jaminan kepastian tenurial dan tentunya Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab terhadap warganya untuk memberikan perlindungan terhadap keberlanjutan kehidupannya. Nampaknya masalah enclave ini penting untuk didiskusikan dengan Departemen Dalam Negeri dan BPN.