Kompas | Opini Transtoto Handadhari (Kompas, 24/2) penting didiskusikan. Tulisan itu mengkhawatirkan maraknya kerusakan hutan akibat peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaa Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.

Tampaknya, kerisauan itu berpangkal dari paradigma scientific forestry yang berkembang pada abad ke-19 dan sangat menjiwai banyak rimbawan.

Scientific forestry mereduksi hutan sebatas sumber daya. Teritorialisasi hutan dilakukan guna memudahkan pengelolaan. Hutan menjadi lanskap yang dikonstruksi secara politis dan administratif. Negara hadir untuk membuat demarkasi antara hutan dan masyarakat.

Negara juga hadir melindungi eksploitasi hutan. Di bawah bayang-bayang scientific forestry hutan terpisah dari masyarakat dan terdistorsi dari pembangunan pedesaan. Alih-alih percaya, negara justru mencurigai rakyatnya. Rakyat mendapat stigma sebagai perusak hutan.

Akibatnya adalah konflik, kriminalisasi, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Program perhutanan sosial untuk menebus dosa tidak efektif. Salah satunya karena pengakuan hak tidak dituntaskan. Padahal, tanpa pengakuan hak yang kokoh, tidak akan ada insentif rakyat melestarikan hutan.

Tafsir peraturan bersama

Peraturan bersama (perber) memutus rantai kekeliruan paradigmatik ini. Namun, Transtoto dengan keliru menafsirkan perber itu ke dalam empat hal: intervensi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), legalitas pada perambahan hutan, kekalahan Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan kecerobohan Komisi Pemberantasan Korupsi.

AMAN tidak terlibat dalam perumusan perber ini. Perber ini dibahas oleh kementerian/lembaga yang terlibat dalam nota kesepakatan bersama untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan.

Tidak tepat jika perber itu dikatakan melegalkan perambahan hutan. Perber ini berpihak kepada mereka yang menguasai tanah secara sah dan dengan itikad baik. Hak itu hilang ketika pengukuhan kawasan hutan tidak dilaksanakan dengan benar. Secara legal 64 persen kawasan hutan yang telah ditetapkan sudah final. Namun, tidak berarti bahwa penanganan klaim penguasaan tanah telah sempurna.

Banyak pihak memandang penguasaan tanah hutan oleh rakyat merupakan ancaman. Namun, ketika kawasan hutan, termasuk yang dikelola Perhutani di Pulau Jawa, menjadi tanah negara, tingkat kerusakannya juga tinggi. Sementara itu, banyak hutan adat dan hutan rakyat mampu dikelola secara lestari. Jelaslah kerusakan hutan tidak terkait dengan bentuk penguasaan tanahnya.

Mengembalikan penguasaan tanah hutan kepada rakyat tidak akan menyebabkan kerusakan sepanjang: (1) ada pendampingan efektif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengelola hutan adat/hutan rakyat dengan baik; (2) ada kesadaran dari pejabat BPN untuk menjalankan Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria yang mewajibkan tanggung jawab lingkungan dari setiap pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah di kawasan hutan harus memperhatikan daya dukung lingkungan dan fungsi-fungsi hutan; (3) ada perlindungan dari pemerintah daerah dalam bentuk zonasi rencana tata ruang wilayah yang sesuai.

Pemerintahan Joko Widodo menyadari instrumentalnya perber ini dalam mengatasi penebangan liar (lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019).

Dengan mengakui hak-hak rakyat dan memberikan akses kepada mereka secara sah, pemerintah terbantu menjaga hutan. Tentu saja hal ini memerlukan perubahan cara pandang aparat kehutanan dan BPN. Sepanjang pemanfaatan lahan mendukung terwujudnya hutan tetap, maka dapat diakui sebagai hutan adat atau hutan hak perorangan.

Alih-alih melemahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perber ini justru membantu meruntuhkan sekat ego-sektoral. Perber ini adalah diskresi yang memungkinkan koordinasi kebijakan, secara khusus Kementerian Kehutanan dan BPN. Perumusan perber tidak mencari menang-kalah, tetapi upaya untuk mencari solusi bagi kawasan hutan yang legitimate.

KPK, dalam kerangka pencegahan korupsi kehutanan, sangat menyadari bahwa konflik dan korupsi saling berkait. Korupsi kehutanan terutama dalam penerbitan izin-izin mendorong beralihnya penguasaan tanah rakyat kepada negara dan korporasi secara tidak adil. Dengan memperjelas siapa berhak apa pada kawasan hutan, maka persoalan tenurial dapat diselesaikan.

Dalam pembahasan perber ini, tim KPK selalu mengingatkan bahwa pengakuan dan penegasan hak merupakan hal penting, tetapi tidak harus diakhiri dengan perubahan kawasan hutan. Bisa saja ditetapkan hutan adat dan hutan hak di dalam kawasan hutan itu. Sayang, pandangan ini tidak seluruhnya dipahami aparat kehutanan atau pertanahan.

Langkah ke depan

Tanpa disadari banyak pihak, perber ini membawa perubahan besar dalam paradigma penguasaan tanah dan sumber daya. Kelemahan yang ada perlu segera diperbaiki. Pembahasan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis lebih terbuka dan inklusif.

Penyempurnaan perlu dilakukan pada tiga hal: (1) berbagai produk hukum daerah diterima untuk verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat; (2) ketentuan perubahan kawasan hutan perlu disempurnakan dengan menyatakan bahwa perubahan adalah pada batas kawasan hutan negara; (3) pengakuan dan penegasan hak adalah cara untuk penetapan hutan hak, termasuk hutan adat di dalam kawasan hutan.

Oleh: Myrna A. Safitri (Direktur Eksekutif Epistema Institute/ Tim Narasumber NKB-KPK)

*Sumber: Kompas edisi 10 Maret 2015: halaman 7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *