WG-Tenure | Konflik merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dan akan terus ada. Dalam rangka mendorong inisiasi dan upaya-upaya penyelesaian konflik yang terjadi, terutama di lahan hutan di Indonesia, Working Group on Forest Land Tenure (WG-Tenure) kembali menggelar Diklat Pemetaan Konflik.
Diklat Pemetaan Konflik kali ini digelar pada 25 – 30 Agustus 2014 di New Ayuda Hotel, Bogor dengan bekerjasama dengan Pusat Diklat Kehutanan (Pusdiklathut), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), dan dukungan dari The Asia Foundation (TAF).
Sampai saat ini, WG-Tenure telah mengadakan 10 kali Diklat serupa dimana 3 diklat yang terakhir sudah terintegrasi dengan kurikulum dan silabus (kursil) yang distandarisasi oleh Pusdiklat Kehutanan dengan Surat Keputusan No.35/ Dik-2/ 2014 tentang Diklat Pemetaan Konflik.
Pada kesempatan pembukaan, Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc selaku Koordinator Badan Pengurus WG-Tenure mengatakan bahwa sebagai working group yang dideklarasikan di Bogor pada tahun 2001 atau sekitar 13 tahun silam, WG-Tenure telah melakukan banyak hal, diantaranya diklat/pelatihan terkait masalah land tenure di kehutanan, kajian-kajian kebijakan, dan assessment atau penilaian/pengkajian masalah land tenure di beberapa kawasan hutan di seluruh Indonesia.
“Pada tahun 2001, beberapa dari kita yang menganggap masalah ini (masalah tenurial-red) adalah masalah serius, yang menganggap masalah ini adalah masalah dasar, dan yang menganggap masalah ini adalah masalah yang selalu berkembang, secara bersama-sama kita semua baik yang dari unsur LSM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan akademisi berkumpul di Bogor mendeklarasikan berdirinya Working Group Tenure”, papar Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc dalam sambutannya.
Sementara itu, Kepala Pusat Diklat Kehutanan, Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc yang turut hadir dan didaulat membuka acara diklat, dalam sambutannya menyampaikan tentang betapa pentingnya penyelenggaraan Diklat Pemetaan Konflik seperti ini. Menurutnya konflik dapat terjadi karena perbedaan cara pandang terhadap suatu masalah, dan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, khususnya di kawasan hutan, konflik merupakan sesuatu yang saat ini intensitas dan kualitasnya terus meningkat. Oleh karenanya, pelatihan/diklat pemetaan konflik sangat diperlukan, sehingga para pihak mendapat tambahan pengetahuan dan metodologi bagaimana memetakan dan mengelola konflik yang terjadi.
Diklat Pemetaan Konflik ke-10 ini diikuti oleh 20 orang peserta dari berbagai instansi antara lain Balai Diklat Kehutanan (BDK), Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, staf KPH, dan NGO/LSM. Sesi Diklat ini dibagi menjadi dua, yakni sesi materi kelas dan praktek lapang, dimana praktek lapang dilaksanakan di 2 Desa di Kecamatan Nanggung, yakni Desa Malasari (Kampung Cisangku) dan Desa Curug Bitung (Kampung Gunung Eusing dan Kampung Taluk Waru).
Tidak berbeda jauh dengan Diklat Pemetaan Konflik yang dilaksanakan oleh WG-Tenure sebelumnya, dalam kesempatan kali ini peserta juga dibekali beberapa materi penting terkait pemetaan konflik, yakni Analisis Sosial dan Gender, Rapid Land Tenure Assesment (RaTA), Analisis Gaya Bersengketa (AGATA), dan ketrampilan pendokumentasian data konflik menggunakan aplikasi Huma-win. Selain itu juga diberikan materi pendukung, seperti Kebijakan Kehutanan terkait Tenurial dan Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Melalui pelatihan dan diklat semacam ini, Working Group on Forest Land Tenure berharap dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia yang ada sebagai bagian dari mendorong upaya penyelesaian permasalahan tenurial yang ada di Indonesia. (Bergas CB/Redaksi)