Tahun 2009‐2012 Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai readiness phase implementasi REDD di Indonesia. Pemerintah menyusun strategi REDDI untuk readiness phase yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Sementara itu masyarakat sipil melakukan hal yang cukup beragam dalam merespon isu REDD. Samdhana Institute melakukan kegiatan dalam mendukung masyarakat sipil dengan nama yang terdengar hampir sama yaitu Preparedness untuk melihat peluang dan ancaman atas program REDD.

Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun sawit berskala besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan. Selain itu masalah tumpang tindih penguasaan lahan dalam kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik. Departemen Kehutanan mempersiapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prakondisi penting bagi penyiapan skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan organisasi pengelola KPH ditingkat tapak akan mendukung skema penanganan perubahan iklim antara lain melalui (a) menjadi salah satu institusi penting yang akan mengurusi proses penanganan perubahan iklim atau pemanasan global (b)wilayah kelolanya menjadi kepastian bagi DA‐REDD (c) KPH bertugas mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan termasuk jasa lingkungan bagi penanganan perubahan iklim.

Kami memberikan ruang kepada para pihak untuk berbagi opini terkait permasalahan land tenure, KPH, persiapan dan kesiapan serta kewaspadaan masyarakat dalam implementasi REDD dengan harapan dapat memberikan masukan dan dukungan terhadap terbentuknya KPH yang efektif sebagai bagian dari upaya persiapan implentasi REDD. Di lain pihak memberikan ruang kepada masyarakat untuk merespon secara adil atas skema REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, individu, dan bukan atas nama institusi.

Hartina

HartinaUndang‐undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan hutan sesuai fungsi dan peruntukan hutan, juga mengamanatkan tentang Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan perlu segera dilaksanakan baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota dan unit pengelolaan (pasal 17 ayat 1 UU No. 41 tahun 1999) dalam bentuk KPHP,KPHL dan KPHK.

Dasar pemikiran pembentukan Unit‐unit pengelolaan tersebut adalah efisiensi dan efektivitas dengan memperhatikan kriteria dan prasyarat tertentu seperti : 1. prakondisi kawasan hutan yang mantap yang ditandai oleh kawasan hutan tetap,mantap,permanen degan batas‐batas tetap; 2.Efisiensi yang ditandai oleh tingkat aksebilitas yang tinggi; 3. Efektivitas ditandai oleh ketepatan pengelolaan sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

KPH sebagai salah satu strategi dalam pembangunan kehutanan tingkat tapak dibentuk dengan memperhatikan : 1. ekosistem melalui pendekatan DAS; 2. Kewenangan dengan pendekatan wilayah administrasi pemerintahan dan status kawasan; serta 3. Kemampuan pengawasan dengan pendekatan Span of Control atau jenjang pengawasan yang mengadopsi KPH di Jawa. Pengelolaan KPH dilakukan dengan menempatkan tenaga profesional secara permanen mulai dari Kepala KPH sampai dengan petugas lapangan(mandor).

Memperhatikan hal tersebut diatas,sangat tepat apabila KPH dijadikan sebagai salah satu skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Dengan pendekatan jenjang pengawasan sampai tingkat tapak oleh mandor, maka KPH akan mampu mengurusi proses penanganan perubahan iklim serta mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan.

Apabila KPH berada di Kabupaten maka akan memperkuat kelembagaan yang sudah ada didaerah, dengan menempatkan mandor secara permanen dengan fungsi sebagai pengawas ditingkat tapak. Namun bagaimana apabila KPH berada ditingkat Provinsi, akan ada hal yang harus didiskusikan mendalam terkait dengan kelembagaan yang sudah ada secara riil di lapangan. *

Haryanto R. Putro

hartanto r putroSistem tenurial menentukan siapa yang memiliki dan siapa yang dapat menggunakan sumberdaya, berapa lama dan pada kondisi apa. Sistem tenurial adat ditentukan pada tingkat lokal dan seringkali didasarkan atas kesepakatan lisan atau hukum adat. Sistem tenurial juga dikodifikasikan menurut Undang‐undang dan diterapkan oleh pemerintah sebagai hukum positif yang substansinya mengacu pada hukum adat. Kajian RRI dan ITTO (2009) menunjukkan bahwa keamanan tenurial sangat penting sebagai basis identitas sosial, keamanan personal dan kelangsungan budaya masyarakat lokal. Keamanan tenurial juga penting untuk alasan ekonomi sebagai basis untuk menentukan siapa yang mendapatkan manfaat atau kerugian dalam kompetisi barang dan jasa ekonomi, termasuk jasa lingkungan yang diberikan ekosistem hutan. Keamanan tenurial seringkali merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam investasi modal oleh pemerintah dan dunia usaha, sebaliknya konflik tenurial akan melemahkan daya tarik investasi dan meruntuhkan pengelolaan hutan lestari. Keamanaan tenurial juga berperan penting dalam struktur insentif yang memotivasi perlindungan atau perusakan hutan. Banyak bukti bahwa menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan pada masyarakat lokal mendorong perbaikan kondisi hutan.

Kesiapan Implementasi REDD diukur dari kinerja pengelolaan hutan lestari yang kemudian mampu membuktikan kelebihan stock karbon dalam biomasa, baik diatas tanah maupun dibawah tanah. Untuk Indonesia, meningkatnya transparansi pengelolaan hutan, termasuk persiapan implementasi REDD, telah menguak banyaknya persoalan konflik tenurial di dalam kawasan hutan yang selama beberapa dekade yang lalu tidak pernah tersentuh. Hasil inventarisasi Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik (2008) menunjukkan bahwa sejumlah 1500 desa (11,14 juta ha) terletak di dalam kawasan hutan dan 8.662desa (28,46 juta ha) di tepi kawasan hutan. Bisa dibanyangkan bahwa di desa‐desa tersebut terjadi konflik tenurial yang intensitasnya bervariasi. Penyelesaian masalah ini akan membutuhkan langkah panjang dan kesigapan Pemerintah untuk membenahi penataan kawasan hutan yang secara terintegrasi menyatu dengan kebijakan penataan ruang. Pembangunan KPH sebagai instrumen penataan kawasan hutan dan upaya mewujudkan keamanan kawasan hutan, secara holistik harus mampu menyelesaikan masalah konflik tenurial melalui penataan ruang kelola dan hak kelola masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Dalam hal konflik terjadi pada kawasan hutan yang telah terlanjur dibebani ijin, KPH harus mampu mengembangkan pola kemitraan antara pemegang ijin IUPHHK dengan masyarakat tanpa mengabaikan sistem tenurial yang berlaku di tingkat tapak.

Pembangunan KPH, dengan demikian dapat menjembatani pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik tenurial pada tingkat tapak, keduanya merupakan prasyarat bagi terwujudnya kinerja pengelolaan hutan lestari. Terwujudnya KPH yang dikelola secara profesional dan menghargai ruang/hak kelola masyarakat, didukung dengan implementasi governansi kehutanan yang baik, merupakan jalan mulus untuk memperoleh insentif REDD+, bila pendekatan ini dapat disepakati pada tahun 2012. Dalam konteks ini, pembangunan KPH yang diikuti dengan investasi negara dan peningkatan kapasitas yang terencana, merupakan bagian tak terpisahkan bagi kesiapan Indonesia untuk meraih kinerja pengelolaan hutan lestari dan implementasi REDD+ pada masa yang akan datang. Pembentukan wilayah dan organisasi KPH, diikuti dengan penyusunan rencana bisnis tingkat KPH akan menjadi instrumen kunci bagi Indonesia untuk menyelesaikan konflik tenurial, meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal, meraih kinerja pengelolaan hutan lestari dan mendapatkan insentif REDD+ pada masa datang. Keberhasilannya tergantung pada keseriusan pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengawal pembangunan KPH melalui governansi kehutanan yang baik. *

Gamma Galudra

gamma galudraIndonesia dikenal sebagai Negara penghasil emisi terbesar dari penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan, sebagai peringkat ke‐3 dari keseluruhan emisi yang dihasilkan dan emisi per kapita tertinggi di antara Negara-negara Amerika Utara dan Eropa. Di bulan September 2009, Presiden Indonesia mengumumkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi bersih sebanyak 26% dengan caranya tersendiri (dengan catatan menerima ‘baseline’ minus 26% dari sejarah sebelumnya), dan menyambut investasi luar negeri pengurangan emisi tambahan sebesar 41%. Akibatnya, Indonesia menjadi target utama bagi tujuan internasional pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di Negara berkembang. Ekspektasi insentif financial bagi pengurangan emisi telah membawa kemunculan konsep hak karbon, sebagai bentuk hak baru didalam konsep land tenure dan property rights.

Isu utama dari perdebatan REDD dalam konteks hak karbon adalah: (1) siapa yang berhak atau mengklaim menjual karbon atau meminta investasi bagi upaya pengurangan emisi; dan (2) siapa yang berhak atau mengklaim hak untuk menerima dana dari insentif tersebut. Konsep hak karbon, sayangnya, tidak mudah dipahami didalam interaksinya dengan keberadaan atau kemunculan hak, kewenangan dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan peruntukan lahan. Isu utama ini menuntut kejelasan dan prosedur yang adil dalam menyelesaikan ‘basis legalitas’ dari land tenure dan tata pemerintahan terhadap sumberdaya hutan. Sebagai tambahan terhadap kompleksitas hak karbon di Indonesia, jawaban atas siapa yang berhak menentukan hak karbon masih diperdebatkan.

Mengklarifikasi ‘basis legalitas’ di Indonesia seringkali berbenturan dengan kontradiksi dari peraturan dan kebijakan, pemahaman dan interpretasi yang berbeda dan perubahan dari system local land tenure dan hak tanah masyarakat adat. Pemerintah seringkali mengubah aturan dan perundang‐undangan sehingga secara sengaja atau tidak sengaja meredefinisi hak legal atas hutan. Perubahan dari aturan dan perundang‐undangan seringkali menimbulkan perubahan dan klaim atas land tenure dan praktek pemanfaatan hutan. Perubahan kebijakan telah menyebabkan pertentangan atas kepemilikan, hak dan tata kelola dari sumberdaya hutan.

Kompleksitas perubahan kebijakan yang berakibat pada perubahan system land tenure dan munculnya berbagai klaim kepemilikan dan penguasaan dapat ditemukan pada saat era desentralisasi kehutanan dilaksanakan sejak tahun 2001 dan di tahun 2006, sentralisasi kembali dilakukan di bidang kehutanan. Perubahan desentralisasi menuju sentralisasi mengakibatkan ketidakpastian siapa sebenarnya yang berwenang dalam pengaturan lahan hutan. Di Indonesia, tidak hanya satu lembaga yang mengatur sistem land tenure di dalam kawasan hutan, namun beberapa lembaga pemerintahan dengan kewenangan dan administrasi yang berbeda berdasarkan mandat perundangan yang berbeda pula ikut serta mengaturnya. Banyaknya lembaga yang mengatur sistem land tenure seringkali menyebabkan benturan kepentingan, yang berakhir pula dengan konflik kepentingan. Konflik terbuka seringkali terjadi di lapangan. Penyelesaian konflik melalui jalur hukum tidak mampu menyelesaikan masalah karena benturan kepentingan ini justru disebabkan oleh ketidakpastian aturan yang berlaku. Banyaknya lembaga yang mengatur system land tenure di dalam hutan dengan segala kepentingannya dapat menyebabkan ketidakpastian siapa yang menentukan dan menetapkan pihak tertentu berhak atas insentif yang diberikan atas pengurangan karbon.

Selain itu pula, bentuk klaim atas kepemilikan dan kepenguasaan tanah bukan hanya berbasis pada legalitas semata. Di Jawa, banyak masyarakat lokal mengklaim hak kepenguasaan dan kepemilikan atas hutan konservasi dan hutan lindung hanya sekedar berdasarkan cerita nenek moyang di masa lalu dan bentuk kemitraan (sebagai contoh PHBM) yang diciptakan pada pemangku lahan sebelumnya (seperti Perum Perhutani). Klaim ini digunakan sebagai alat strategi bagi masyarakat lokal untuk menegosiasi ulang bentuk land tenure di dalam kawasan hutan. Untuk memahami hak karbon yang berbasis pada system land tenure yang ada, tidaklah cukup untuk focus hanya pada aspek legal saja, namun juga sejarah, politik dan perkembangan ekonomi yang digunakan dalam pembentukan dan penentuan hak atas tanah. Selain itu pula, perlu dipertanyakan apakah bentuk‐bentuk land tenure selain yang bukan didasarkan pada sistem Negara, namun berbasis pada system adat, agama dan sebagainya mampu terakomodir sebagai pengklaim atas hak karbon dari upaya pengurangan emisi. Peraturan Menteri Kehutanan No P.36/2009 mengatur siapa saja yang berhak mengklaim hak karbon di dalam skema penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, namun sayangnya hanya membatasi diri pada system land tenure yang berbasis pada Negara dan belum mampu mengakomodir system land tenure yang dianut oleh adat, agama dan sebagainya.

Tenure pepohonan merupakan bentuk lain dari land tenure. Studi kasus Lamandau menggambarkan bagaimana tenure pepohonan menambah kompleksitas hak karbon. Negosiasi proses untuk memberikan hak akses atas tanah seperti HKm, hutan desa dan HTR dapat menimbulkan konflik khususnya ketika pemilik/pengguna pepohonan tidak secara otomatis sama dengan pemilik/ pengguna tanah. Memahami land tenure perlu ditambahkan pula pemahaman tentang multi guna dan multi akses terhadap tanah, pepohonan serta sumberdaya alam lainnya. Skema hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa atau hutan tanaman rakyat (HTR) untuk memberikan akses kepada masyarakat sekitar hutan dapat membantu persoalan tumpang tindih klaim. Namun, perlu kehati‐hatian pada saat mendefinisikan skema tersebut agar tidak merusak pembagian hak kepemilikan/ penguasaan sumber daya hutan dengan pengguna dan pengakses lainnya.

Kussaritano

kussaritanoPengelolaan hutan di wilayah tapak memberikan peluang untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global dan salah satu respon konkrit terhadap perubahan iklim. Contoh nyata yang sudah di inisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah yang didukung oleh Kemitraan dan WG‐Tenure dalam melakukan assessment land tenure sebagai bagian dari usulan penetapan wilayah KPH model di Kabupaten Kapuas ini mestinya “segera di tiru” juga oleh kabupaten lain (khususnya di propinsi Kalimantan Tengah), jika tidak mau dianggap ketinggalan.

Di samping sebagai salah satu “pintu masuk” dalam kontek penyelesaian konflik tenurial, pola pendekatan analWorking Group on Forest Land Tenureisis land tenure (antara lain dengan menggunakan metode RATA dan AGATA) dalam mendesain sebuah KPH bisa menyentuh akar permasalahan konflik tersebut, walau perlu proses yg sangat panjang.

Yang paling penting untuk didorong sebagai tahap selanjutnya adalah kepastian kebijakan dan kelembagaan yang mampu menjadi payung KPH tersebut juga jangan di abaikan, mesti ada “keterpaduan dan singkronisasi” pada lintas departemen serta antara pusat dan daerah, baik dari sisi perencanaan, teknis hingga pendana. Perlu juga diketahui bahwa Pejabat Dearah (Gubernur dan para Bupati) banyak yang belum memahami secara menyeluruh tentang KPH itu sendiri, sehingga seringkali dianggap sebagai sebuah “beban baru”. Pembentukan dan pengelolaan KPH model harus ada ruang keterbukaan secara holistic bagi masyarakat untuk mengambil peran dalam setiap proses tersebut.*

Opini Para Pihak_Warta Tenure_Edisi 8.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *