Negara maju maupun negara berkembang telah sepakat untuk meningkatkan upaya dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim seperti tertuang dalam keputusan COP-13 yang dikenal dengan Bali Action Plan. Sektor kehutanan di Indonesia dianggap sebagai salah satu menyumbang emisi yang cukup signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (Green House Gases/GHGs), yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang merupakan isu terkini dalam proses negosiasi di bawah Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Indonesia memperoleh insentif yang cukup besar dalam implemantasi REDD. Namun demikian, seperti apa mekanisme distribusinya dan siapa yang berhak menerima manfaat tersebut? Bagaimana dengan kelompok masyarakat yang secara faktual telah terbukti mampu mengelola hutan secara lestari, meskipun keberadaan mereka di dalam kawasan hutan belum memiliki jaminan kepastian akan haknya? Kami memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berbagi opini dalam upaya mendorong sistem insentif yang berkeadilan dan mekanisme distribusi yang transparan dalam implementasi REDD. Opini dapat berupa telaah/analisis singkat, kritik terhadap system atau mekanisme yang ada, juga bisa berupa saran atau usulan perbaikan. SIMAK OPINI MEREKA!
Nurcahyo Adi
Terdapat bukti-bukti yang menguat, dari berbagai penelitian, bahwa community forest lebih menjanjikan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari (Markku et al., 2007). Namun saat ini muncul kekhawatiran bahwa rakyat (di sekitar dan di dalam hutan) akan semakin terpinggirkan dengan skema REDD, apalagi dengan rezim land tenure dan property rights yang berlaku saat ini dan menguasai pola pikir sebagian kita. Dalam draft regulasi pemerintah (Permenhut) tentang REDD-pun hak-hak rakyat di sekitar hutan untuk memperoleh manfaat dari skema tersebut belum terkakulasikan dengan lebih jelas. Oleh karena itu, supaya rakyat juga memperoleh manfaat yang seimbang dan bisa berpartisipasi dalam skema REDD ini, maka :
- Akses terhadap informasi mengenai persoalan REDD ini harus terbuka lebar dan transparan untuk meningkatan pemberdayaan dan posisi tawar mereka terhadap skema REDD
- Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah suatu keharusan, sehingga meningkatkan partisipasi dan keberterimaan masyarakat terhadap skema REDD
- Membangun institusi yang mendorong keterlibatan masyarakat secara optimal, melalui cara-cara:
- Melindungi/mengakui hak-hak masyarakat (adat)
- Memperkuat lembaga-lembaga yang menyediakan bantuan teknis tentang persoalan REDD kepada masyarakat
- Mengembangkan kemitraan antara perusahaan pengelola hutan (korporasi) dan masyarakat sekitar dan didalam hutan
Upik Rosalina Wasrin
REDD – BERPIKIR GLOBAL BERTINDAK LOKAL :
IMPLIKASINYA PADA MASYARAKAT DESA HUTAN
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) harus dilaksanakan dalam upaya untuk mengatasi emisi rumah kaca di dunia. Skemanya dapat dilakukan melalui penjualan karbon dari hutan produksi dan hutan konservasi yang ada di Indonesia. Namun demikian, masih banyak masyarakat umum yang belum memahami apa yang dimaksud dengan REDD, demikian pula masih banyak dijumpai persepsi yang berbeda terhadap definisi (what), dimana bisa dilakukan (where), kapan berlakunya (when), dan dengan siapa harus berproses (whom) serta bagaimana pelaksanaan/ best practice REDD di lapangan.
Faktanya, pengurangan (reduksi) emisi karbon global tidak akan efektif selama kepentingan kelompok yang diutamakan, dimana industri-industri besar negara maju tetap dengan kebiasaannya mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sedangkan dipihak lain negara-negara berkembang diharuskan menjaga hutan dengan berbagai mekanisme yang tidak sederhana dan tidak mudah.
Masyarakat miskin yang tinggal di pinggir hutan mencapai lebih dari 20 juta penduduk, dan hampir 50% berada dipulau Jawa. Dapat dipastikan bahwa keberadaan hutan di pulau Jawa Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Bagaimana agar skema perdagangan karbon ini juga bisa bermanfaat langsung terhadap masyarakat khususnya yang berperan sebagai “penjaga hutan” / forest guard ? tentu bukan melalui mekanisme sebagai penjaga hutan, akan tetapi harus menggunakan cara yang lebih bermartabat. Konsep multi produk dari ekosistem hutan baik hutan produksi maupun hutan lindung merupakan mekanisme cerdas yang harus didukung dan dibantu oleh berbagai pihak. Misalnya praktek-praktek hutan tanaman kombinasi tumpangsari / tumpanggilir dengan menanam berbagai jenis umbi-umbian, tanaman obat dan tanaman tumpangsari lainnya menurut musim tanam dan kondisi tapak dibawah tegakan hutan, maka pada hakikatnya sistem ini telah dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dan memberikan penghasilan sekaligus menjaga hutan dari gangguan dan kebakaran baik sengaja atau tidak sengaja, disisi lain dengan intensifnya pengelolaan lahan hutan dan tegakan pohon diatasnya secara nyata mencegah terjadinya penebangan liar artinya mencegah terjadinya degradasi hutan. Mekanisme perdagangan karbon melulu hanya dengan memberikan semacam kompensasi dari menjaga hutan sangat tidak efektif tanpa memperhitungkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan.
Di negara paternalistik seperti Indonesia, pada dasarnya masyarakat masih patuh terhadap larangan-larangan atau aturan-aturan. Pada kondisi sekarang dimana perubahan iklim global telah berimbas sangat nyata pada kehidupan masyarakat desa khususnya dalam tata waktu dan pola tanam tumpangsari dan tanaman di bawah tegakan. Sehingga pada kondisi perubahan iklim saat ini, masyarakat harus dibantu untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim dan juga diberi kompensasi jika bisa mempertahankan dan mengelola hutan secara lestari. Kompensasi dapat diberikan juga dalam bentuk “Bantuan Tunai Langsung” (BTL) yang diarahkan penggunaannya untuk meningkatkan usaha produktif baik didalam sistem agroforestri atau hutan tanaman kombinasi tumpangsari pangan. Kelembagaan masyarakat desa baik berupa kelompok tani, koperasi atau yang lainnya asalkan jelas keberadaannya dalam jangka panjang, dapat menjadi fondasi kelembagaan yang eligible.
Selama kurun waktu tertentu (tergantung pada daur tanaman), masyarakat desa hutan akan menggantungkan kehidupannya pada hutan dalam bentuk yang sangat positif. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan akan secara pasti memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk keluar dari masalah kemiskinan dan meraih standar kehidupan yang wajar, khususnya jika mereka juga didukung untuk melakukan proses produksi pada kegiatan hilir (pengolahan pasca panen) yang dapat berupa industri rumah tangga skala kecil.
Nanang Roffandi Ahmad
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia sedang dikhawatirkan atas adanya ancaman pemanasan global yang dapat mengganggu kehidupan mahluk hidup di dunia sebagai akibat efek gas rumah kaca (GRK) yang akumulasi jumlahnya semakin banyak di atmoster. Deforestasi dan adanya kebakaran hutan pada periode1997-2000 telah menempatkan Indonesia sebagai negara peng-emisi terbesar ke-3 di dunia. Kenyataan ini telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit karena kampanye negatif (black campaign) yang telah bergulir tersebut.
Padahal Nicholas Stern dalam Stern Review : The Economics of Climate Change mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang hanya menyumbang emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global, sementara carbon yang saat ini tersimpan di ekosistem hutan (~ 4500 Gt CO2 lebih besar dari yang tersimpan di atmosfir (3000 Gt CO2). Oleh karenanya negara maju (Annex I countries) lah yang menyumbang 80 % emisi dengan industrialisasinya yang berkewajiban untuk melindungi hutan yang masih ada mengingat sebagian besar hutan berada di negara-negara berkembang (tidak terkecuali di Indonesia) dimana deforestasi yang terjadi merupakan sebuah kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk yang meningkat.
Dalam membangun mekanisme pasar karbon apapun harus terlihat benang merahnya dari kerangka kerjasama antara negara industri dengan negara berkembang dalam upaya mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim global. Annex-1 Countries diwajibkan menurunkan emisi dengan cara mengubah teknologi yang digunakan dan atau berinvestasi di negara-negara berkembang yang akan menghasilkan pengurangan emisi.
Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum memperoleh penilaian yang memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam system pasar terhadap produk dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar yang tersedia di bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpanan CO2 melalui kegiatan penanaman pohon tidak memberikan manfaat karena prosedur dan aspek metodologi yang kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap stabilitas GHgs di atmosfer (stabilisasi iklim) diperlukan pendekatan kebijakan internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan berpartisipasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan emisi dari deforestasi juga memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat lokalnya.
Ada tiga prinsip yang menjadi pegangan bagi pembayaran jasa lingkungan (environment service payment) yaitu :
- Prinsip Service Against Money Dalam hal ini penerima jasa harus membayar kepada pemberi jasa, sekurang-kurangnya setara dengan opportunity cost dari penggunaan lahan/hutan tersebut.
- Prinsip Negosiasi Pembayaran harus bersifat sukarela yang didorong oleh keinginan yang kuat (willingness to pay and or to sale).
- Prinsip Polluter Pays Dalam prinsip ini siapa yang membuat polusi diwajibkan untuk membayar kompensasi yang hasilnya akan dipergunakan untuk menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan. Kewajiban tersebut tidak menghilangkan kewajiban industri untuk membatasi limbah.
Pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Bali diadakan acara United Nation Climate Change Conference (UNCCC). Salah satu pembahasannya adalah tentang kesepakatan pelaksanaan program REDD yang bertujuan untuk mengatasi masalah global warming yang mekanismenya sedang dalam proses pengujian.
Apakah mekanisme REDD yang disepakati nanti akan menjamin membawa manfaat? Belum ada jaminan, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis untuk memegang teguh prinsip-prinsip environment service payment serta kegiatan-kegiatan yang layak masuk dalam mekanisme REDD tersebut.
Mengenai jangka waktu pelaksanaan REDD semestinya harus sama dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan yang ada dalam PP No.6 Tahun 2007 jo. PP No.3 Tahun 2008, yang harus diatur lebih lanjut adalah Time-Frame yang harus kita pertahankan yaitu selama lima tahun dan dapat diperpanjang. Penetapan lima tahun ini karena adanya evaluasi RTRW lima tahunan sesuai UU RTRW. Apabila time-frame lebih lama dari lima tahun, dikhawatirkan akan bertabrakan dengan revisi RTRW yang diatur dengan UU RTRW itu sendiri.
Untuk verifikasi sebaiknya tidak dibebankan kepada Pemrakarsa REDD secara langsung, akan tetapi diatur dalam pembagian nilai pembayaran jasa lingkungan. Mengenai Sertifikasi, sekali lagi disarankan, apabila sertifikat REDD ini akan selevel dengan CER, maka perlu diatur secara lebih jelas dalam Permenhut. Hal ini perlu dilakukan agar sertifikat tersebut dapat memasuki pasaran global (go-global).
Besarnya pembayaran minimal harus dapat menutup seluruh biaya eksternalitas yang dikeluarkan Pemrakarsa, ditambah allowance yang dapat menarik bagi Pemrakarsa untuk memasuki mekanisme ini sebagai alternatif kegiatan yang terbaik. Atau besarannya harus sama dengan jumlah nilai pengorbanan (opportunity lost) pada saat mereka memasuki mekanisme tersebut.
Sementara itu, distribusi insentif hasil pelaksanaan REDD sebaiknya diganti saja dengan distribusi pembayaran jasa lingkungan dan lialibilitasnya. Diusulkan bahwa pembayaran atas jasa lingkungan tersebut berkisar antara 70 – 87,5% diperuntukan bagi penghasil jasa. Yang dimaksud dengan penghasil jasa adalah Pemrakarsa tersebut dan masyarakat yang berada di sekitar hutan. Kemudian sisanya sebesar 12,5 max. 30% digunakan untuk pendamping dan fasilitator Pemrakarsa. Porsi Pemerintah dan Pemerintah Daerah seyogyanya ditiadakan, akan tetapi apabila UU mengharuskan maka bagian Pemerintah (pajak dan PNBP) max 10% saja.
Inisiatif perdagangan karbon kehutanan lainnya yang telah ada tetap harus terbuka untuk dimanfaatkan. Hal ini berarti mekanisme pasar CDM, REDD dan perdagangan karbon bebas (VCM) dapat menjadi pilihan yang paling baik bagi negara berkembang.
Niken Sakuntaladewi
REDD merupakan sebuah mekanisme yang ditawarkan untuk merespon permasalahan perubahan iklim yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi, dengan kompensasi yang cukup besar bila berhasil mengurangi emisi carbonnya. Upaya mulia ini dimaksudkan untuk memperbaiki ekosistem global. Bagi Indonesia, revenue yang didapat dari REDD ini dipercaya dapat mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan.
Adanya revenue yang besar dari REDD ini menuntut persyaratan, kesiapan, kemampuan, dan kerjasama berbagai pihak (termasuk masyarakat) untuk bisa meraihnya. Selanjutnya perlu dipunyai base line untuk tingkat nasional, mekanisme monitoring, mekanisme distribusi hasil pembayaran karbon dsb agar upaya pengurangan emisi karbon bisa berjalan dengan baik. Ada pemahaman bahwa pemerintah/masyarakat akan memperoleh keuntungan besar dari mekanisme ini, sementara banyak yang belum jelas tentang peran yang harus mereka mainkan, tanggung jawab yang harus mereka pikul, hak yang akan diterimakan, dsb.
Perlu diingat bahwa REDD bukan untuk mendulang uang, tapi merupakan investasi dimasa mendatang untuk perbaikan lingkungan.