KELAUTAN
Jakarta, Kompas – Kawasan konservasi perairan di Indonesia saat ini dikelola Kementerian Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini menimbulkan dualisme pengelolaan dan membuka potensi saling lempar tanggung jawab atas kewenangan institusi.
”Tak ada kepastian dalam pengelolaan kawasan. Pengaturan kawasan konservasi di laut, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya), menunjuk Kementerian Kehutanan. Sementara itu, UU No 27/2007 (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) menunjuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” kata Riza Damanik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Sabtu (4/5), di Jakarta.
Ia mengatakan, ketidakpastian ini sudah berlangsung sangat lama dan tak kunjung selesai. Dikhawatirkan, hal ini menimbulkan kebingungan di lapangan, terutama masyarakat. Bahkan, berpotensi menjadi celah lempar tanggung jawab antarinstitusi.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) pernah menyebut, ketidakpastian penanggung jawab konservasi berkontribusi pada kerusakan mangrove di banyak daerah. Hutan mangrove di pinggir pantai dibabat untuk perkebunan sawit, tambak, dan sarana penambangan.
Sejak 4 Maret 2009, Kementerian Kehutanan dan KKP menandatangani Berita Serah Terima Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Menteri Kehutanan serta Menteri Kelautan dan Perikanan menyepakati penyerahan tujuh kawasan konservasi perairan dari Kementerian Kehutanan ke KKP.
Menurut Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil KKP, sejumlah daerah konservasi telah diserahkan karena belum telanjur dilengkapi infrastruktur dan petugas atau belum dikelola oleh unit pelaksana teknis.
”Adapun yang belum diserahkan, pihak kehutanan beralasan kawasan konservasi perairan terintegrasi dengan darat. Sebagai contoh Taman Nasional Laut Wakatobi yang ada pulau-pulau dengan hutan-hutannya,” kata Sudirman.(ICH)
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/05/06/0245512/dualisme.pengelolaan.konservasi.tak.efektif