PERUBAHAN IKLIM

Jakarta, Kompas – Pemerintah menetapkan pengurangan emisi gas karbon dioksida di Indonesia hingga 26 persen pada 2020. Namun, hingga kini belum ada standar dan sistem pengukuran emisi gas tersebut. Untuk mengetahui tingkat pencapaian upaya reduksi karbon dioksida, diperlukan pembangunan sistem pemantau dan pengukur secara terpadu berbasis standar internasional.

Hal ini disampaikan pakar gambut dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang juga mantan Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bambang Setiadi, di Jakarta, Jumat (3/5). Selaku Ketua Masyarakat Akunting Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia, ia akan menyampaikan rencana pembangunan sistem pemantau itu dalam sidang Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), di Roma, Senin.

Dengan adanya data pemantau karbon secara nasional, pemerintah dapat mengetahui tingkat pencapaian setiap waktu serta memproyeksikan dalam perencanaan jangka menengah dan panjang untuk adaptasi dan mitigasi menghadapi dampak perubahan iklim. Ia mengambil contoh Brasil dan Amerika Serikat.

Penelitian iklim dunia oleh banyak negara mendorong dibangunnya beberapa ribu stasiun meteorologi, stasiun penelitian antartika, dan satelit observasi parameter iklim. Amerika Serikat, antara lain, membangun stasiun pemantau emisi karbon dioksida di Mauna Loa, Hawaii. Sementara itu, Brasil melakukan proyeksi dampak perubahan iklim. Jika dalam 40 tahun mendatang terjadi kenaikan 1 derajat celsius suhu di permukaan bumi, akan mengurangi 30 persen komoditas ekspornya, terutama dari sektor pertanian.

Saat ini, untuk menyamakan metode pengukuran suhu bumi dan emisi gas rumah kaca di tingkat dunia, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menetapkan satu standar metode pengukuran yang dipegang setiap negara. Untuk mendukung upaya itu, Organisasi Standardisasi Internasional (ISO) menetapkan standar emisi gas rumah kaca, seri ISO 14064 yang mengatur tentang pemantauan, pengurangan, dan validasi asersi gas-gas rumah kaca. Selain itu, dikeluarkan ISO 14067 untuk mengukur produksi karbon. Terkait itu, BSN tengah menyiapkan draf SNI yang mengadopsi standar internasional itu

”Indonesia berkepentingan dengan standar itu, terutama untuk mengukur pelepasan dan penyerapan karbon dari hutan dan lahan gambut yang dimilikinya,” ujar Bambang. Pengukuran potensi gambut juga harus menghitung kedalaman deposit gambut di bawah permukaan tanah. Pengukuran terhadap permukaan air di lahan gambut sejak tiga tahun lalu dilakukan BPPT bekerja sama dengan Jepang di tiga lokasi di Kalimantan, yaitu di Sungai Kahayan, Sebangau, dan Kapuas.

Pembangunan sistem pemantau emisi karbon di Indonesia dapat dilakukan dengan membentuk konsorsium atau tim peneliti dari lembaga terkait dan perguruan tinggi. Data hasil pemantauan dikumpulkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Adapun perencanaan pembangunan sistem monitor dan kebijakannya, menurut Bambang, dikoordinasi oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim.(YUN)

sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/05/06/02491035/belum.ada.pengukuran.emisi.karbon.di.indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *