Semangat pembaruan agraria telah digulirkan oleh Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden SBY melalui Program Pembaruan Agraria Nasioanl (PPAN). Seiring dengan kebijakan tersebut, Departemen Kehutanan secara spesifik telah membuka peluang akses masyarakat untuk mengelola kawasan hutan melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di luar Jawa dan kerjasama pengelolaan untuk di Jawa.
Peraturan Pemeritah (PP) No. 6 Tahun 2007 yang merupakan hasil revisi PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan juga telah memberikan ruang yang cukup luas untuk akses masyarakat, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan (HKM), HTR dan kemitraan. Demikian juga dengan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 56 tahun 2006 tentang zonasi Taman Nasional yang memberikan peluang cukup besar bagi akses masyarakat dan penyelesaian konflik tenurial khususnya di kawasan konservasi.
Kami memberikan ruang kepada para pihak untuk berbagi opini terkait dengan perkembangan perubahan kebijakan pemerintah tersebut dikaitkan dengan praktek-praktek dan realitas sosial dalam pengelolaan hutan. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, individu, dan bukan atas nama institusi. Opini dapat berupa persepsi atau pemahaman terhadap topik yang disuguhkan, analisa singkat, usulan aksi penyelesaian masalah, atau dapat juga berupa untaian kalimat bermakna. Mari kita simak opini mereka!!
Transtoto Handadhari
Masalah land tenure di Indonesia merupakan masalah yang rumit dan penuh dengan nuansa kompleksitas perilaku sosial yang terkadang sulit dikendalikan, apalagi menginjak masa-masa reformasi dan demokratisasi saat ini. Masing-masing daerah memiliki karakter sosial yang berbeda dan rata-rata memiliki kecenderungan untuk mengedepankan kepentingan pribadi dan bersifat penguasaan. Bahkan hampir mengabaikan aspek memanfaatkan apalagi membudidayakan lahan. Akibatnya di daerah yang memiliki lahan luas dan sangat terbuka pun masalah lahan ini hampir selalu menjadi fokus konflik sosial yang hanya menyisakan lahan kosong yang “bertuan”. Secara umum masyarakat sekitarnya juga tidak sejahtera.
Masalah land tenure agar disikapi dan ditangani dengan sangat berhati-hati dan arif, dengan mengedepankan pendekatan budaya, pendidikan, kesejahteraan dan keadilan masyarakat, serta memperhatikan kepentingan umum/nasional. Pemerintah diharapkan memiliki garis kebijakan yang jelas dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat serta mengacu pada arah pembangunan negara yang ditaati semua pihak dalam penyelesaian masalah-masalah land tenure ini.
Akses masyarakat dalam pengelolaan hutan perlu diberikan seluas-luasnya dalam setiap aspek yang memungkinkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat setempat. Namun masalah legal dan kontrak dalam hal kewenangan, hak, dan tanggung jawab maupun tenggang waktu harus jelas dan tidak memberikan peluang terjadinya permasalahan lahan di kemudian hari.*
Amran Achmad
Kebijakan pemerintah mengeluarkan Permenhut yang berkaitan dengan hak dan akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan seperti PP No. 6 tahun 2007, masih lebih banyak memberi harapan bagi masyarakat yang punya kemampuan modal untuk ditanamkan pada bidang pengusahaan hutan, dibandingkan dengan masyarakat yang membutuhkan sumberdaya hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan rumah tangga. Yang menggembirakan dalam PP No.6 adalah terbukanya hak dan akses masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayudari hasil rehabilitasi hutan. Selain itu, ketetapan jumlah maksimum pemungutan hasil hutan kayu sebesar 20 m3 per keluarga untuk bahan bangunan dan tidak boleh diperdagangkan, adalah merupakan suatu kepastian hukum yang sudah lama mereka nantikan.
Namun demikian, peluang PP No. 6 hampir tidak mungkin bagi masyarakat miskin yang tertuduh sebagai ”perambah” hutan sebagai konsekwensi dari penerapan PP tentang TGHK, dimana areal hutan yang selama ini mereka kelola secara turun temurun ditetapkan sebagai kawasan hutan negara. Bagi masyarakat miskin yang meduduki hutan negara, satu – satunya akses guna mendapatkan hak dalam pengelolaan hutan adalah melalui pola Hutan Kemasyarakatan (HKM), dimana masyarakat dapat tetap mengerjakan areal yang selama ini mereka kelola melalui peningkatan manajemen yang lebih konservatif sesuai dengan fungsi hutan dimana mereka melakukan perambahan. Sayangnya SK No. 31 tahun 2001 tentang penyelenggaraan HKM yang memberi hak kelola kepada masyarakat dalam kawasan hutan, mengharuskan masyarakat ”perambah” melintasi perjalanan yang berliku, mendaki dan terjal, sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai wilayah HKM yang syah. Dimulai dari proses identifikasi lokasi, pembuatan kelompok tani hutan, rencana pembentukan koperasi, rencana pengelolaan, serta berbagai rencana dan persyaratan lain yang rumit sehingga tidak bisa diterjemahkan oleh pelaksana di daerah, dan akhirnya ”harus menunggu juknis” yang tidak pernah muncul. Beberapa kelompok tani dan LSM di Sulawesi Selatan yang berinisiatif untuk mengajukan dokumen perizinan ke Menhut guna penetapan wilayah HKM, tidak pernah mendapat tanggapan apalagi SK persetujuan wilayah. Dephut seakan mengulur waktu, SK 31 memberi peluang yang berbelit, akses legal yang diharapkan masyarakat tak kunjung tiba, sementara kerusakan hutan berjalan terus.
Ironisnya, Dephut melalui BRLKT kemudian membangun proyek HKM dengan dalih percontohan yang tidak harus mengikuti sepenuhnya ketentuan SK 31. Tidak diperlukan izin dari menteri, cukup mengajukan areal kegiatan. Kelompok tani hutan dibuat instant, bahkan mungkin anggotanya bukan masyarakat ”perambah” ditempat lokasi proyek dibangun, tetapi diimport dari tempat lain untuk memenuhi target. Hasilnya adalah proyek HKM versi reboisasi. Selesai proyek, masyarakat mendapatkan imbalan kegiatan, tetapi hak dan akses mereka terhadap sumberdaya hutan kembali tak menentu. Pohon mati tidak terurus, masyarakat kembali tertuding tidak memelihara, sementara BRLKT say good bye. Untuk itu, guna memberi peluang akan hak dan akses pengelolaan hutan yang lebih baik bagi masyarakat ”perambah” hutan negara, SK 31 perlu segera direvisi guna mengsinkronkan dan mengurai benang kusut yang selama ini menjadi penyebab SK tersebut tidak bisa diaplikasikan di lapangan.
Permenhut No. 56 tahun 2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, nampaknya memberi peluang yang lebih baik dan kemungkinan penerapannya jauh lebih mudah karena sudah ada zona pengelolaan yang disepakati oleh masyarakat, baik wilayahnya maupun regulasinya. Namun demikian, hal ini sangat tergantung dari rencana pengelolaan dan kemauan para pihak (terutama pengelola TN) untuk melaksanakan kegiatan pada bidang perlindungan ekosistem, pemanfaatan SDA/wisata dan pembinaan mesyarakat di zona penyangga, zona tradisional dan zona khusus (yang menyangkut kehidupan masyarakat) dilakukan secara berimbang. Semakin besar kegiatan pengelolaan pada zona yang berkaitan dengan pembinaan kehidupan masyarakat, akan lebih besar pula hak dan akses terhadap sumberdaya hutan yang mereka dapat nikmati. *
San Afri Awang
Mendiskusikan tentang tenure pastilah terkait dengan ragam masalah sumberdaya alam di dunia. Oleh karena itu bahasa yang paling pas untuk menjelaskan persoalan ini adalah “hybrid” dari semua sumberdaya alam yaitu “resource tenure problems”. Berkaitan dengan lahan kita sebut “Hybrid land tenure”, berkaitan dengan pohon-pohon disebut “hybrid tree tenure”, berkaitan dengan air disebut “hybrid water tenure”. Hybrid disini meminjam istilah post-strukturalis, yaitu sebagai produk baru dari relasi dan interaksi elemen-elemen sumberdaya yang diminati oleh masing-masing pemangku. Hybrid tenure ini sebagai produk baru dari kajian sosiologi politik dalam sebuah negara.
Carut marut dan konflik sumberdaya lahan hutan di Indonesia adalah ranah sosiologi politik negara yang menzalimi properti lahan yang seharusnya menjadi domain rakyat. Ketika negara menyatakan bahwa semua sumberdaya alam dikuasai negara, maka rakyat pasti melakukan perlawanan untuk memperoleh hybrid tenure baru dalam kehidupan mereka… dan itu artinya “konflik” akan segera berlangsung dan berkepanjangan. Semua kegiatan yang berlabel HKm, Hutan adat, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, kemitraan PHBM di Jawa, Kemitraan pada Hutan Tanaman Industri MHBM, semuanya mencerminkan hybrid tenure yang sesungguhnya dapat dibaca sebagai langkah peredam konflik, dan dapat juga dibaca sebagai tindakan rejim politik kapitalis yang anti pada etnositas, karena memang ciri kapitalisme adalah “anti etnositas” tersebut. Tidak banyak orang mengerti teori-teori sosial yang dalam, tetapi mereka sudah berani bicara sosial, sehingga seringkali bicara sosial kemasyarakatan sektor sumberdaya alam, termasuk tenure bagai orang meraba-raba tanpa tau apa yang diraba, maksud hati ingin membela kepentingan masyarakat, tetapi justru diperalat oleh (negara) kapitalis yang anti etnik tersebut untuk lebih menyesengsarakan rakyat.*
Erna Rosdiana
Degradasi hutan di Indonesia terus meningkat, tercatat 59,7 ha kawasan hutan terdegradasi sampai tahun 2002. Di sisi lain kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan masih jauh dibawah standar. Tahun 2004 tercatat 48,8 juta orang tinggal di sekitar hutan dan 10,2 juta orang diantaranya tergolong masyarakat miskin. Salah satu akar permasalahan terjadinya degradasi hutan, adalah kegagalan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan di masa lalu. Penerapan sistem konsesi besar-besaran dan pengabaian terhadap kepentingan masyarakat lokal menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Untuk menyeimbangkan hal tersebut, Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti Undang-undang 5 tahun 1967 telah merevisi banyak hal untuk perbaikan di masa datang. Hal menarik antara lain tercantum dalam penjelasan umum alinea 7 yang menyebutkan bahwa: ”Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat”.
Bentuk-bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM) seperti Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan,Hutan Rakyat sudah secara jelas diakui keberadaannya dalam undang-undang tersebut dan menjadi pilihan-pilihan masyarakat dalam mendapatkan akses untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Pengakuan atas praktik CBFM ini tentu tidak menegasikan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh para pelaku lainnya seperti BUMN, BUMS. Alokasi pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih adil kepada semua lapisan rakyat dapat meningkatkan optimalisasi manfaat sumberdaya hutan dalam menunjang kehidupan rakyat secara lebih menyeluruh.
Walaupun belum sempurna seperti yang diharapkan, Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 telah mengatur peluang bagi masyarakat lokal untuk mendapat hak properti terhadap sumberdaya hutan. Masyarakat lokal yang memiliki posisi lemah dalam persaingan usaha tentu harus mendapat perlindungan dari pemerintah. Dukungan pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat harus diwujudkan secara nyata baik di tingkat lokal maupun nasional. Pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada upaya menstimulasi masyarakat agar lebih berdaya dan mandiri, bukan menciptakan ketergantungan. Penerapan teori De Soto melalui pemberian legalitas terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat mengelola hutan yang sudah berlangsung lama dan terbukti tangguh secara ekonomi dan ekologi perlu dilakukan. Artinya upaya pemberdayaan masyarakat tidaklah harus melalui pilot proyek lagi, karena hal itu sudah banyak dilakukan dan tentu sudah banyak memberikan pelajaran. Yang harus dilakukan sekarang ke depan adalah sebuah proses menyeluruh dalam menguatkan kelembagaan masyarakat agar mendapat kepastian usaha jangka panjang. Tidak selalu harus melalui hak milik, bisa hak kelola atau hak pemanfaatan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Untuk itu proses-proses kolaboratif perlu dikembangkan. Komunikasi antar lembaga pemerintah dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah perlu dilakukan untuk membangun kesepahaman atas permasalahan yang dihadapi. Disamping itu peningkatan kapasitas profesionalisme rimbawan dalam menghadapi tantangan perubahan juga penting agar tangguh menghadapi derasnya arus kepentingan politik. Keterlibatan stakeholders dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengaturan pengelolaan hutan di Indonesia sudah saatnya dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. *
Hery Santoso
Hak akses masyarakat terhadap sumber daya hutan: Sebuah kritik kehutanan akademik.
Penyelenggaraan kehutanan yang kini berlangsung di banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, ditopang oleh apa yang dinamakan sebagai kehutanan akademik (scientific forestry). Model kehutanan akademik yang lahir pada awal abad 18 di Eropa, memandang bahwa hutan adalah aset negara yang perlu dikelola secara lestari. Konsep kelestarian versi kehutanan akademik menekankan pada beberapa prinsip seperti pertanaman monokultur, sentralisasi pengelolaan, pengamanan polisional, dan berbasis negara.
Salah satu konsekuensi yang kemudian muncul dari penyelenggaraan kehutanan akademik adalah penisbian, jika bukan penutupan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Pengelolaan hutan tradisional yang sebelumnya dipraktikkan oleh kalangan masyarakat desa hutan, yang salah satu prinsip utamanya adalah memposisikan sumber daya hutan sebagai basis material ekonomi lokal, dianggap sebagai sesuatu yang tidak produktif dan cenderung mengancam kelestarian. Kalau meminjam pendapat Hardin, salah satu alasan mengapa kemudian Negara perlu mengambil peran dalam pengelolaan hutan adalah karena masyarakat dipandang tidak memiliki sIstem pengaturan yang jelas. Sumber daya hutan yang dikelola masyarakat, menurutnya, cenderung bersifat open access sesuatu yang bisa mendatangkan bencana publik (the tragedy of the common).
Lahirnya kehutanan akademik, dan juga teori open access Hardin, menjadi semacam tonggak penting bagi lahirnya era baru penyelenggaraan kehutanan: pengelolaan hutan berbasis Negara. Kebijakan-kebijakan kehutanan yang kemudian mengikuti menjadi sarat dengan ancaman-ancaman hukum terhadap siapa saja yang tidak mengindahkan peraturan yang berlaku. Membuka ladang di hutan menjadi sesuatu yang dilarang. Demikian halnya dengan mengambil kayu dan hasil-hasil hutan lainnya.
Berangkat dari realitas semacam itu maka lahirnya etika sosial dalam pengelolaan hutan (dimulai pada dekade 70-an), yang salah satu isu utamanya adalah memperjuangkan hak akses masyarakat terhadap sumber daya hutan, pada dasarnya merupakan kritik terhadap kehutanan akademik yang cenderung meminggirkan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Berdasarkan etika baru ini, hak akses masyarakat terhadap sumber daya hutan dipandang sebagai keniscayaan. Masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar hutan, berhak atas manfaat yang proporsional dari hutan-hutan yang ada di sekelilingnya.
Sebagaimana kesaksian Jack Westoby, sejauh ini penyelenggaraan kehutanan yang didasarkan pada kehutanan akademik cenderung memberikan keuntungan yang jauh lebih besar kepada kalangan pemilik modal (pengusaha). Masyarakat sebagai salah satu stakeholder penting justru termiskinkan, akibat dari semakin sempitnya (bahkan di beberapa tempat tidak lagi tersedia) wilayah jelajah ekonomi mereka.*