Banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa di dalam kawasan hutan terdapat kampung, dusun dan bahkan desa-desa definitif. Banyak kampung dan dusun yang keberadaannya mendahului penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Ada sebagian kampung yang mendapatkan status Enclave (terutama kampung-kampung yang ada di dalam kawasan konservasi), namun tidak sedikit kampung lainnya yang tidak dalam status enclave tetapi berada di dalam kawasan hutan.
Bagaimana persepsi para pihak terhadap kampung-kampung yang berada di dalam kawasan hutan tersebut? WG-Tenure memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk mengemukakan opininya secara independen, opini individu dan bukan atas nama institusi. Opini bisa berupa persepsi atau pemahaman terhadap topik yang disuguhkan, analisis singkat, usulan aksi penyelesaian masalah atau juga bisa berupa untaian kalimat pesan bermakna. Mari kita simak pendapat mereka!
Mustofa Agung Sarjono
Keberadaan dusun/kampung/desa definitif di dalam kawasan hutan adalah realita di banyak daerah di Indonesia akibat dari berbagai alasan atau latar belakang (kasus per kasus) yang perlu dipahami benar guna penangannya yang tepat dan adil. Disamping mempertimbangkan aspek kesejarahan tersebut, adalah penting untuk pengkajian ulang mengenai penetapan fungsi kawasan itu sendiri, serta manfaat kawasan bagi kehidupan masyarakat (interaksi masyarakat dan lingkungannya). Bilamana muncul permasalahan, dituntut perumusan solusi secara dialogis dan partisipatif khususnya pelibatan aktif masyarakat/warga setempat. Pemerintah sendiri harus memberikan contoh kepada masyarakat tentang komitmen, konsekuensi dan konsistensi terhadap setiap keputusan yang diambil menyangkut penetapan fungsi kawasan hutan. Mengusir masyarakat/memindahkan dusun/kampung /desa dari dalam kawasan hutan dan/atau sebaliknya membiarkannya tumbuh berkembang begitu saja dalam kawasan hutan bisa menjadi sama nistanya. Akan tetapi salah satunya mungkin alternatif terbaik dan harus dilakukan bagi kepentingan yang lebih besar, dengan catatan pihak-pihak berkepentingan memahami dan menyepakatinya.
Mahir Takaka
Sudah saatnya rakyat mendapatkan posisi yang setara dengan pihak lainnya untuk menyatakan permasalahan yang dialaminya selama bertahun-tahun yang sampai saat ini belum ada solusi yang terbaik. Kehadiran forest land tenure (WG-T) saya yakin akan menjadi wadah dalam mendorong demokratisasi pengurusan sumber daya alam (hutan) dan menjadi mediator untuk resolusi konflik dimasa yang akan datang. Kita tidak ingin lagi mendengar ada pengkambing hitaman rakyat atas kerusakan hutan selama ini. Tidak akan ada lagi rakyat yang mengalami kemiskinan diatas sumber daya alam (hutan), dimana mereka telah lebih awal melangsungkan proses kehidupan secara turun-temurun. Jangan lagi ada keraguan dari pemerintah untuk memberikan wewenang dan tanggungjawab pengurusan hutan yang lebih luas kepada rakyat.
Muayat Ali Muhsi
Keberadaan kampung di dalam kawasan hutan bisa karena memang sudah ada sebelum ditetapkan sebagai kawasan, bisa karena program pemerintah di masa lalu dan juga bisa karena pendudukan kawasan hutan terutama pada masa reformasi. Sebenarnya semua itu bisa diselesaikan apabila masing-masing pihak, baik masyarakat maupun pemerintah mampu membuktikan komitmentnya untuk melestarikan hutan dan mensejahterakan masyarakat secara kongkrit di lapangan. Masyarakat membuktikan komitmentnya melalaui pengembangkan wanatani dan usaha-usaha produktif lain dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Sementara pemerintah melaksanakan kewajibannya dengan melayani dan membantu masyarakat agar dapat melaksanakan komitmennya tersebut , serta memberikan perlindungan hukum agar masyarakat dapat tetap hidup dan meningkatkan kesejahteraannya dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan secara berkelanjutan. Kondisi ini sulit tercapai, karena adanya jarak geografis dan politik ekonomi antara pemerintah dengan masyarakat yang harus dilayani. Persoalannya kemudian, bagaimana memperpendek jarak geografis dan politik ekonomi tersebut dengan kebijakan dan program pemerintah yang dapat menyentuh dan menyelesaikan persoalan-persoalan hutan dan masyarakat secara kongkrit di lapangan. Dengan demikian kita bisa berharap, visi kehutanan untuk menjaga kelestarian hutan dan mensejahterakan masyarakat dapat dicapai dan tidak sebatas wacana dan slogan kosong saja.
Poerwadi Soeprihanto
Keberadaan kampung dalam kawasan hutan adalah sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan. Dalam setiap ijin konsesi hutan yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang, selalu ditegaskan bahwa apabila di dalam areal yang diberikan ijin tersebut terdapat hak-hak pihak ketiga (salah satunya bisa kampung), maka areal yang menjadi hak pihak ketiga tersebut harus dikeluarkan (dienclave) dari ijin konsesi.
Penegasan tersebut memberikan koridor bagi pelaku usaha, bahwa setiap ijin yang diberikan bukanlah areal yang clean dan clear, meskipun berada dalam kawasan hutan. Sayangnya, dalam pelaksanaan di lapangan diperlukan kejelian untuk mengindentifikasi adanya hak-hak pihak ketiga. Dalam kasus keberadaan kampung yang secara historis memang sudah ada sebelum ijin diberikan, proses enclave tidaklah sulit. Situasinya menjadi kompleks ketika sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat dan aksesibilitas yang semakin terbuka, bermunculan kampung-kampung baru.
Sebenarnyalah, opsi enclave bukanlah upaya satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan keberadaan kampung di kawasan hutan. Terminologi hutan sebagai kumpulan vegetasi pohon- pohonan semata sudah tidak relevan lagi digunakan saat ini, karena pola interaksi masyarakat dengan hutan dewasa ini sudah jauh berbeda. Karenanya opsi Hutan Desa sebagai bentuk pengelolaan hutan yang diinisiasi di beberapa tempat, seperti di Kulonprogo misalnya, bisa menjadi salah satu solusi cerdas. Dalam konteks ini, kawasan hutan yang didalamnya ada kampung, dikembangkan pola-pola pengelolaan tanpa melepaskan status kawasan hutan. Sayangnya, inisitif Hutan Desa hingga saat ini belum ada payung kebijakan yang jelas. Dalam konteks yang lebih luas, kampung bisa juga berada dalam kawasan hutan yang belum dibebani ijin. Untuk kasus ini, kebanyakan menjadi status quo, karena biasanya pihak yang berwenang di kehutanan tetap berupaya untuk mempertahankan status kawasan hutan.
Wiratno
Masyarakat Sebagai Bagian dari Solusi
Masyarakat yang tinggal di dalam hutan atau di sekitar kawasan hutan, baik di hutan produksi maupun hutan konservasi, seperti taman nasional, sudah seharusnya dipandang sebagai bagian dari solusi pengelolaan hutan secara luas. Selama ini, mereka hanya dijadikan objek, dan bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek oleh para free riders- tokoh – tokoh intelektual, cukong, spekulan, calo ijin IPK, ijin HPH, dan sebagainya. Kalau kita masih memandang masyarakat atau alam sebagai sekedar objek, maka kita masih menganut doktrin Descartes, berabad-abad lalu: “aku subjek, yang lain objek”, yang telah membuahkan kehancuran sumberdaya alam di muka bumi ini.
Di TNGL, masyarakat Tangkahan di Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, Kab. Langkat, yang berada di pinggir TN, mampu dirubah menjadi “social buffer” untuk menjaga TN, yang sebelumnya adalah penebang liar. Dengan membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT), masyarakat mengelola ekowisata berbasis masyarakat. Untuk mengamankan hutan yang juga menjadi asset mereka, masyarakat bahkan membentuk Ranger. Tangkahan telah menjadi icon baru di mana masyarakat memperoleh manfaat dari mengelola ekowisata sekaligus menjaga taman nasional. Hal ini terwujud atas konsistensi kebijakan yang dilakukan oleh Balai TN.Gunung Leuser, dan dukungan para mitra, seperti Indonesian Ecotourism Network (Indecon), Fauna Flora International, dan mitra-mitra lainnya, yang dimulai sejak 6 tahun lalu. TNGL dengan luas lebih dari 1 juta Ha yang sejak tahun 2004 telah ditetapkan sebagai World Heritage Site dikelilingi oleh lebih dari 200 desa di 5-8 kabupaten. Posisi masyarakat lokal menjadi sangat strategis, apabila dapat dibangun kemitraan seperti yang telah dilakukan di Tangkahan tersebut.
Oleh karenanya, masyarakat desa hutan, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan di dalam hutan, sudah seharusnya diperlakukan sebagai stakeholder utama dan pertama dalam pengelolaan hutan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila para pengambil keputusan melakukan perubahan paradigma pengelolaan hutan di Indonesia. Peraturan perundangan-undangan yang tidak sesuai harus dirubah. Dalam pengelolaan hutan di Indonesia seharusnya dibangun pola-pola yang fleksibel, diproses secara bottom-up, dan disesuaikan dengan kondisi spesifik setiap lokasi, termasuk keragaman modal sosial , aset ekonomi mikro, kekuatan budaya, dan peluang dinamika politik lokalnya di era otonomi daerah saat ini. Oleh karenanya, berbagai disiplin ilmu harus dapat disinergikan untuk dapat menyumbangkan pemikiran dan solusi pengelolaan sumberdaya hutan nasional ini. Kita harus akui bahwa pengelolaan hutan produksi selama 30 tahun terakhir ini telah mengalami kegagalan. Fakta menunjukkan bahwa hutan-hutan tropis yang relatif masih bagus hanya tersisa di kawasan-kawasan konservasi. Maka, bukan tidak mungkin bila pengelolaan kawasan-kawasan konservasi itu akan menemui kegagalan, apabila kita salah menempatkan posisi masyarakat lokal, yang tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan itu. Pertanyaan yang penting adalah cukup legowo-kah pemerintah untuk melakukan reposisi, reorientasi, dan reformasi birokrasi dan kebijakannya, agar lebih mendengarkan dan memahami berbagai aspirasi masyarakat? Lebih bersedia menjadi fasilitator, pendamping, dan pengayom masyarakat? Pertanyaan yang sekaligus otokritik terhadap pemerintah di berbagai tingkatannya, seperti ini harus segera dijawab. Bukan hal yang mudah tentunya, tetapi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan secara bertahap, sistematis, dan konsisten. Maka, perubahan fundamental seperti ini sudah seharusnya dimulai dari pemerintah.