KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Sejumlah koleksi penyakit tanaman hutan dan kebun terdapat di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan di Bogor, Jawa Barat. Koleksi yang dikumpulkan sejak zaman Belanda (1922) itu dipamerkan dalam rangka memperingati 100 tahun Badan Litbang Kehutanan, Kamis (25/4) di Bogor.

Bogor, Kompas – Para peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan diminta memberi solusi bagi masa depan pengelolaan hutan. Mereka diminta menyediakan hasil riset yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan industri di tengah tingginya kebutuhan penduduk, perubahan iklim, serta mulai munculnya kesadaran lingkungan.

Hal itu dikemukakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Kamis (25/4), di Bogor, dalam sambutan Peringatan 100 Tahun Badan Litbang Kehutanan.

”Yang akan menentukan masa depan kehutanan adalah Balitbang. Jangan sampai malah belajar dari Singapura, China, atau Cifor (Lembaga Penelitian Kehutanan Dunia),” kata Zulkifli.

Cifor telah 20 tahun berada di Indonesia, awalnya berkantor di Balitbang Kemhut. Kini pindah tak jauh dari Kantor Balitbang. Kegiatan itu diikuti Direktur Jenderal Cifor Peter Holmgren dan Koordinator Regional Asia Tenggara Pusat Wanatani Dunia (ICRAF) Ujjwal Pradhan.

Menurut Zulkifli, hasil penelitian Balitbang harus bisa dimanfaatkan kalangan industri dan masyarakat. Ia menekankan, perlu digalakkan penelitian kehutanan nonkayu, seperti permodelan jasa lingkungan, energi baru terbarukan.

Dalam sesi dialog dengan pengguna hasil riset, Moch Sani, petani gaharu asal Sumatera Utara, meminta Menteri Kehutanan mengubah regulasi. Menurut dia, produksi gaharu dibatasi kuota karena semula gaharu didapat dari hutan alam. Berkat riset Balitbang Kehutanan, kini gaharu dipercepat dan diperbanyak hasil minyaknya dengan pemberian vaksin mikroorganisme. Dalam tiga tahun, produksinya sudah menguntungkan.

Moch Sani merinci, tiap pohon gaharu bernilai Rp 2 juta untuk masa panen tujuh tahun. Dalam 1 hektar, ditanam 2.000-2.500 batang gaharu. Dalam kurun waktu 7 tahun didapat penghasilan Rp 4 miliar-Rp 5 miliar.

Merespons hal itu, Zulkifli meminta Kepala Balitbang Kehutanan dan Sekretaris Jenderal Kemhut meninjau regulasi yang menghambat pengembangan.

Johansyah Anwar dari PT Hutan Amanah Lestari, dengan menggunakan hasil penelitian teknologi paket perhitungan karbon, mempertanyakan izin reforestasi (rehabilitasi ekosistem) yang tidak kunjung terbit sejak 2 tahun 2 bulan diajukan ke Kemhut. Perusahaan yang dibentuk Jusuf Kalla itu menabur benih tanaman endemis pada 382 hektar lahan di Palangkaraya.

”Setelah enam bulan, 63 persen tumbuh baik, tapi kemudian terkena panas dan banjir tinggal 14 persen,” kata dia.

Kepala Balitbang Kemhut Iman Santoso mengatakan, para peneliti menghasilkan berbagai riset yang prospektif. Hasil riset itu di antaranya pemanfaatan bioremediasi dari mikroorganisme hutan dan pembuatan nanoteknologi karbon aktif untuk baterai mobil listrik. Ia berharap hasil penelitian ini bisa diserap masyarakat dan industri. (ICH)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/04/26/02380545/litbang.kunci.masa.depan.kehutanan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *