WG-Tenure memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk mengemukakan opininya secara independen, opini individu dan bukan atas nama institusi. Opini bisa berupa persepsi atau pemahaman terhadap topik yang disuguhkan, analisis singkat, usulan aksi penyelesaian masalah atau juga bisa berupa untaian kalimat pesan bermakna. Mari kita simak pendapat mereka!

Imam Santoso

Imam SantosoMasalah-masalah yang terjadi pada pengelolaan hutan saat ini sebagian besar diakibatkan oleh penguasaan negara atas sumberdaya hutan yang tidak/belum dipersepsi secara benar oleh seluruh pihak. Kini saatnya Pemerintah maupun pihak-pihak lain yang concern akan sumberdaya hutan Indonesia memahami dan mengkaji kembali masalah-masalah tenurial kawasan hutan untuk mendapatkan solusi yang tepat dan adil atas konflik-konflik pemanfaatan lahan dan hasil hutan yang selama ini terjadi. Working Group on Forest Land Tenure diharapkan dapat membantu memfasilitasi proses belajar bersama dalam memahami masalah-masalah tersebut dan mencari solusi terbaik.

Myrna A. Safitri

Myrna A SafitriBahwa kepastian tenurial terkait erat dengan pelestarian hutan dan penyelesaian konflik adalah tesis yang sangat populer dalam diskursus akademik, pembangunan dan gerakan sosial. Kepastian tenurial atau tenure security adalah kunci untuk mendorong masyarakat melestarikan hutan sekaligus menciptakan keadilan dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu membedah berbagai macam persoalan terkait dengan pengakuan/ pemberian hak tenurial untuk masyarakat pada kawasan hutan tentu sangat penting. Tetapi, pada situasi sekarang ini, saya berpandangan bahwa hal itu perlu ditingkatkan lebih jauh dengan juga mendiskusikan apa yang sebenarnya yang kita inginkan untuk menciptakan kepastian tenurial itu. Tentu saja, untuk hal ini jawabannya tidaklah dengan menyatakan, secara sederhana, “Kembalikan atau berikanlah hak-hak tenurial kepada masyarakat.” Tetapi yang kita butuhkan sekarang adalah pemikiran yang konkrit, utuh dan mendalam tentang apa bentuk hak tenurial itu? elemen-elemen dasar apa yang perlu tersedia untuk menyatakan bahwa hak tenurial itu bersifat ‘pasti’? apa yang kita maknai dengan kata “kepastian”? terakhir, mampukah kerangka hukum kehutanan dan pertanahan yang ada menyediakannya?

Hariadi Kartodihardjo

HariadiApabila forest land tenure diletakkan sebagai masalah ekonomi politik, maka pasokan (supply) untuk menyelesaikannya dapat tidak terkait dengan besarnya permintaan (demand). Dinamika politik yang cenderung berjangka pendek tidak mempunyai logika yang konsisten untuk menganggap forest land tenure (bahkan hanya) sebagai masalah, meskipun menentukan perkembangan ekonomi dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tetapi dalam logika politik sesaat, dapat bekerja dengan arah yang sebaliknya. Maka langkah taktis sama pentingnya dengan landasan filosofis dan ideologis bagi pegiat forest land tenure.

Irwan Nirwana

Irwan NirwanaSaat ini konflik di kehutanan cukup komplek,artinya banyak pihak yang terlibat dan terkait. Konflik bisa terjadi antara pihak masyarakat dengan pihak pemerintah (sebagai pengelola kawasan hutan dan hutan), antara pihak masyarakat dengan pihak pengusaha, serta pihak pemerintah dengan pihak pengusaha. Secara umum, konflik ini menggambarkan semerawutnya penataan agraria di negara kita. Secara khusus konflik menggambarkan konsepsi dan pengelolaan kehutanan yang tidak baik. Artinya dalam pengelolaan hutan ada ketidakseimbangan keuntungan atau manfaat dari setiap pihak yang terlibat dan terkait. Dalam tataran praktis di lapangan, dapat dilihat dari pertempuran konsepsi dan praktek pengelolaan didasarkan kepentingan “ekonomi-politik” yang dominan. Dari sini kita dapat melihat bahwa siapa yang kuat “modal dan kuasa” dialah yang mendominasi dan menang. Dan saya pikir keberadan WG Tenurial sudah memposisikan diri untuk berkumpulnya para pihak (terutama yang bersengketa) dan dapat mencari solusi yang adil, tidak hanya di forum tapi di lapangan kerja. Karena saya berpandangan sangat tidak mungkin DEPHUT sendirian dapat menyelesaikan masalah dengan adil, karena DEPHUT sendiri bagian dari yang bermasalah.

Salah satu penyebab konflik di wilayah kehutanan, yang mendapat perhatian sangat minim adalah masalah TATA BATAS antara kawasan hutan dan non hutan. Sebenarnya sudah ada inisiatif dari teman-teman mengenai tata batas. Yang lebih penting adalah bagaimana hasil inisiatif dan temuan di lapangan menjadi pengetahuan publik, inilah yang belum dilakukan. Persoalannya tidak hanya selesai pada tuntasnya pemetaan tata batas hutan, tapi pada penentuan tata batas yang baik sebagaimana dalam peraturan yang mana melibatkan berbagai pihak (bukan sepihak). Persoalan lain adalah dalam penentuan dan penetapan tatabatas sering terjadi tumpang tindih klaim. Kita perlu melakukan kajian yang cukup mendalam mengenai tatabatas wilayah hutan dan non hutan ini. Selanjutnya hasilnya dikampanyekan dengan baik sehingga mengenai TATABATAS menjadi pengetahuan publik luas, tidak hanya pengetahuan para pemegang kekuasaan, karena hal ini kecenderungannya terjadi penyelewengan.

Nana Suparna

Nana SuparnaPersoalan yang berkaitan dengan Forest Land Tenure, tampak semakin marak bermunculan bahkan sudah banyak berkembang menjadi konflik yang sulit dikendalikan. Pihak pemerintah yang semestinya paling berwenang dalam hal pengaturan pemafaatan lahannya juga tampak kewalahan dan boleh dibilang belum menemukan solusi konkrit yang aplikatif dan bisa disetujui dan ditaati oleh semua pihak terkait. Padahal dari aspek legal formal, dukungan dari lembaga dan instansi pemerintah terkait juga telah dilakukan (TAP MPR No. IX/2001; UU no. 41/1999; Permen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999) namun realitasnya di lapangan belum bisa diterapkan secara efektif. Kasus-kasus tenurial akan potensial selalu bermunculan selama tidak ada titik temu atau jalan tengah antara pihak-pihak yang terkait. Saling tuding antar pihak (masyarakat, pengusaha, dan pemerintah) yang dianggap sebagai pemicu munculnya permasalahan selama ini, juga sama-sama merasa mempunyai pembenaran logis masing-masing. Janganlah perbedaan persepsi tentang hak-hak atas tanah menjadi penghambat terselenggaranya pengelolaan lahan dan hutan secara ekonomi dan berkelanjutan, tetapi mari kita bekerja bersama mengelola dan memanfaatkan lahan dan hutan secara proporsional sesuai dengan kemampuan dan akses masing-masing pihak untuk kepentingan bersama, sehingga masing-masing pihak menerima manfaat secara berkelanjutan dan berkeadilan.

Christine Wulandari

Christine WulandariTenurial atas tanah dan sumberdaya alam bagi masyarakat di dalam kawasan konservasi hendaknya diberikan perhatian khusus dalam kemungkinan adanya “hukum peralihan tentang masyarakat hutan adat” antara hukum yang sekarang ada menuju hukum yang lebih mempertimbangkan kondisi de facto di lapangan. Secara de facto, hampir semua kawasan konservasi di Indonesia banyak terdapat pemukiman, lahan garapan, serta sarana dan prasarana. Pada kenyataannya, tidak semua masyarakat adat tersebut merusak hutan dan akan terus demikian apabila pemerintah atau lembaga yang berwenang dapat segera mempunyai program dalam pemenuhan kebutuhan penghidupan mereka (sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan). Diperlukan adanya “perubahan tindakan secara nyata dan segera” berupa kebijakan yang terarah dan terstruktur oleh pemerintah atas pemasalahan tenurial tanah dan sumberdaya alam dalam hutan dan kawasan konservasi lainnya. Hal ini akan memberikan rasa “in secure” bagi masyarakat. Selain itu juga akan mempertinggi “sense of belonging” mereka sehingga lebih tenang dan sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan di lahan garapannya secara berkelanjutan.

Opini Para Pihak_Warta Tenure_Edisi 1.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *