Jakarta, Kompas – Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendedikasikan sisa pemerintahannya bagi perlindungan hutan ditagih. Presiden bisa merealisasikan janjinya itu melalui perpanjangan moratorium kehutanan sehingga terwujud perlindungan-perbaikan tata kelola hutan.
Janji Presiden itu diucapkan saat membuka Konferensi Internasional Kehutanan yang digelar Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Jakarta, 27 September 2011. Itu dinilai sebagai pernyataan kuat.
”Sebulan lagi, batas waktu moratorium izin kehutanan habis. Kami minta janji Presiden melindungi hutan itu dinyatakan. Jangan sekadar pencitraan,” kata Teguh Surya, Pengampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia, Kamis (18/4), di Jakarta.
Itu menanggapi Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, yang berakhir 20 Mei 2013. Berbagai aktivis lingkungan mendesak inpres dilanjutkan dengan perbaikan. Sebaliknya, kalangan pengusaha menilai tak layak dilanjutkan karena menghambat pertumbuhan ekonomi.
Terkait pernyataan Presiden di kancah global, Teguh mengatakan, tindak lanjut keseriusannya belum terlaksana. Presiden dinilai tak pernah mengawasi kebijakan menterinya yang menghancurkan hutan.
Ia mencontohkan alih fungsi 800.000 hektar hutan di Papua dengan dalih revisi tata ruang. Itu dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 458 Tahun 2012 yang menyetujui perubahan fungsi kawasan hutan menjadi nonhutan (376.385 hektar), antarfungsi kawasan hutan (hutan lindung/ konservasi menjadi hutan produksi 395.176 ha), dan area nonhutan menjadi hutan (45.258 ha) (Kompas, 15/3).
Modus serupa juga mengancam hutan di Aceh. Pemprov Aceh mengusulkan revisi tata ruang (qanun) dengan mengurangi 1,2 juta ha kawasan hutan. Itu memfasilitasi kebutuhan tambang, kebun sawit, kayu, dan infrastruktur.
Lanjut moratorium
Secara terpisah, Priyadi Kardono, Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG), berharap moratorium hutan dilanjutkan. Moratorium belum menghasilkan peta hutan/gambut yang valid.
Penyebabnya, sejumlah instansi belum menyerahkan data penggunaan lahan/hutan kepada BIG, sebagai penyusun peta. Pihaknya masih menanti kelengkapan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mendapat data dari daerah.
”Kalau (data) belum lengkap, kenapa (moratorium) harus diberhentikan?” kata Priyadi.
Ia menjelaskan, awal Inpres No 10/2011 diterbitkan karena belum diketahui detail data terkait kawasan hutan/lahan. ”Melalui moratorium ini baru terlihat data seperti apa. Kami juga berharap perizinan di hutan tak lagi terbit agar data tak bergerak terus,” kata dia. Jika terus bergerak, sulit mengurai tumpang tindih peruntukan hutan. (ICH)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2013/04/19/04160768/janji.presiden.lindungi.hutan.ditagih