WARTA TENURE Edisi 4
Hak dan Akses Masyarakat
di Kawasan Hutan
Berbagai analisis menyatakan bahwa parahnya kerusakan hutan di Indonesia terjadi akibat dari sistem pemerintahan yang terpusat (sentralisasi) yang dipraktekkan sejak masa orde baru, praktek-praktek kebijakan otonomi daerah yang kebablasan, dan sebagian menyebutkan akibat dari eforia reformasi yang mendorong rakyat kebanyakan ”merebut kembali” hak-haknya dengan cara menduduki dan membabat hutan tanpa peduli dengan peraturan perundangan. Apakah kita akan terus centang perentang dalam silang sengketa dan saling menabur prasangka di arena perdebatan yang tak berujung pangkal? Bagaimana cara memperbaiki kondisi pengelolaan hutan Indonesia yang carut marut ini?
Sebagian kelompok rimbawan telah melakukan refleksi panjang dan memetik hikmah pelajaran penting, bahwa apa yang sebenarnya diperlukan dalam pembangunan kehutanan saat ini adalah merealisasikan ide-ide pembaruan kebijakan maupun ide-ide langkah di lapangan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bersifat operasional. Pendekar manajemen (Renald Kasali, 2005) mengingatkan bahwa tidak akan pernah ada langkah operasional yang baru dan dapat memecahkan masalah, apabila tidak ada pengetahuan baru dan inovasi pemikiran. Untuk menghasilkan perubahan diperlukan kemampuan untuk ”melihat”, seeing is believing. Bahkan perubahan dan pembaruan kebijakan maupun langkah operasional di lapangan menuntut tiga hal sekaligus: melihat, bergerak dan menyelesaikan sampai tuntas. Oleh karena itu diperlukan terbangunnya suatu kondisi dimana para pihak membuka diri dan bekerjasama dengan kelompok lain, agar dapat mengubah kebijakan dan mampu menggeser keseimbangan kekuasaan sebagai penyebab masalah (Hariadi Kartodihardjo dkk, Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan, Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, 2006).
Warta Tenure edisi ke 4 kali ini mengajak khalayak untuk kembali melakukan refleksi bersama, membaca dan memahami berbagai inisiatif yang telah dibangun mulai dari tingkat masyarakat akar rumput di lapangan, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintah Propinsi. Bahkan juga termasuk ”membedah” inisatif baru yang telah digulirkan Pemerintah Pusat dalam mengawali tahun baru 2007 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 2007 (PP 6/2007). PP tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan ini membuka peluang baru bagi akses dan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan. Misalnya dengan adanya skema pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa, kemitraan dan hutan kemsyarakatan (HKM). Bahkan juga kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dianggap sebagai skema baru yang cukup lama ditunggu-tunggu untuk menguatkan hak dan akses masyarakat di dalam kawasan hutan. Akankah semua ini bisa mengantarkan kita untuk ”melihat”, ”bergerak” dan ”menyelesaikan secara tuntas” kepastian penguasaan serta akses masyarakat atas kawasan hutan negara dalam usaha mewujudkan pengelolaan hutan Indonesia yang lebih adil dan lestari?
Selamat membaca dan refleksi!